Jayapura, (KT)– Marinus Mesak Yaung, seorang Dosen di Universitas Cenderawasih, menegaskan bahwa kampanye hitam atau black campaign tidak hanya dilarang oleh Undang-Undang Pemilu, tetapi juga bertentangan dengan nilai-nilai Alkitab. Ia menyatakan bahwa tindakan tersebut dapat merusak kehidupan beragama dan sosial di Papua.
Menurut Yaung, Undang-Undang Pemilu telah secara tegas melarang kampanye hitam, di mana pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat berujung pada pidana penjara selama 2 tahun dan denda maksimal 24 juta rupiah (sesuai dengan Pasal 280 Ayat 1 Huruf C dan Pasal 521 Undang-Undang Pemilu). Ia juga menekankan bahwa kampanye hitam meliputi penghinaan terhadap individu, serta diskriminasi berbasis agama, suku, ras, dan golongan.
“Kampanye hitam, yang bertujuan mendiskreditkan calon lain dengan isu-isu seperti ‘saya anak adat Tabi-Saereri’, ‘saya anak injil’, atau ‘saya beragama Kristen’, adalah bentuk kejahatan pemilu,” kata Yaung pada Minggu (1/9/2024) di Jayapura.
Yaung mendesak Bawaslu dan KPU Papua untuk menegakkan hukum secara tegas selama proses tahapan Pemilu. Ia meminta agar kedua lembaga ini segera memberikan teguran lisan dan tulisan kepada calon yang menggunakan kampanye hitam, dan jika teguran tersebut diabaikan, maka calon tersebut harus dikeluarkan dari proses pencalonan.
“Bawaslu dan KPU Papua harus menunjukkan bahwa mereka bisa menjadi wasit yang adil dan tegas, tanpa memihak pada salah satu kubu dalam rivalitas Pilkada Gubernur Papua,” tegasnya.
Lebih lanjut, Yaung menyayangkan bahwa kampanye hitam ini juga melibatkan tokoh-tokoh gereja di Papua. Menurutnya, para tokoh gereja seharusnya bertindak adil dan tidak diskriminatif sesuai dengan standar Alkitab.
“Jika tokoh gereja dan aktivis Kristen mendukung narasi kampanye hitam seperti ‘saya anak adat Tabi-Saireri’ atau ‘saya Kristen, kamu Islam’, maka ini akan merusak kerukunan sosial dan menghancurkan komunitas umat Tuhan serta gereja,” tegas Yaung.
Ia menambahkan bahwa dukungan terhadap kampanye hitam dari tokoh-tokoh gereja adalah tindakan yang memuliakan iblis dan membuat Tuhan Yesus sedih. “Tuhan Yesus mati di kayu salib untuk semua umat manusia, bukan hanya untuk orang Tabi-Saireri dan umat Kristen,” ujarnya.
Yaung juga menekankan bahwa jika Papua adalah tanah Injil, maka seharusnya umat Kristen di Papua mendukung nilai-nilai yang diajarkan dalam Doa Bapa Kami. Ia mengingatkan bahwa surga bukan milik satu suku atau agama tertentu, melainkan milik semua manusia.
“Pilihan bagi masyarakat Papua dalam Pilgub 2024 hanya ada dua: memilih surga atau neraka hadir di Papua. Jika kita memilih pemimpin berdasarkan suku, wilayah adat, atau agama, maka kita memilih neraka hadir di bumi Papua,” kata Yaung.
Sebaliknya, ia mengajak masyarakat Papua untuk memilih Gubernur pada 27 November 2024 berdasarkan ide, gagasan, dan rekam jejak calon, bukan berdasarkan politik sektarian yang hanya akan menghancurkan kohesi sosial masyarakat dan umat Tuhan.
“Doa saya, semoga Pilkada Gubernur Papua 2024 melahirkan seorang pemimpin yang mampu menghadirkan surga di bumi Papua dan menghapus air mata kemiskinan serta penderitaan rakyat Papua,” tutup Yaung.