Wamena (KT) – Denda adat yang berlebihan di Kabupaten Jayawijaya dan wilayah Lapago mendapat tanggapan serius dari Anggota Komisi C Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Jayawijaya, Penas Kogoya.
Dirinya menilai, tingginya denda adat yang berlebihan di Wilayah Lapago dan khususnya di Kabupaten Jayawijaya merupakan satu kelalaian dan kegagalan kerja Lembaga Masyarakat Adat (LMA) yang ada di Wilayah Jayawijaya dan Lapago.
Menurutnya, terkait proses pembayaran masalah-masalah yang berkaitan dengan budaya dan adat masyarakat yang ada di Jayawijaya dan Lapago telah berubah.
Karena, pembayaran adat pada waktu sebelumnya, tuntutannya atau dendanya sudah ditentukan berapa banyak jumlah hewan babi dan juga uang yang harus dibayar kepada orang yang dirugikan.
Namun untuk saat ini ditahun-tahun sekarang, semuanya mengalami perubahan, bahkan denda yang diberikan kepala pelaku sangat besar nilainya dan berlebihan, sehingga hal ini harus menjadi perhatian serius dari Lembaga masyarakat adat yang ada di Jayawijaya dan juga Lapago.
“Kemarin saya lihat itu ada yang bayar 100 ekor babi ditambah dengan yang lain-lain, ditambah nilai uang dan lain-lain lagi,” ungkap Penas Kogoya.
Menurutnya, permitaan denda adat yang berlebihan telah merusak citra dan nama baik masyarakat gunung yang ada di Wilayah Jayawijaya dan Lapago.
Masalah seperti pembayaran denda adat harus diatur dan ditetapkan dengan baik, sehingga dalam penerapannya tidak merugikan semua pihak.
Diakui, semua ini terjadi karena kurangnya kegiatan sosialisasi yang harus dilakukan LMA yang ada di Wilayah Lapago dan juga LMA yang ada di Kabupaten Jayawijaya, melalui penetapan jumlah beban pembayaran yang sah dan berlaku umum untuk Wilayah Lapago.
“Saya lihat ini kurangnya sosialisasi dari LMA yang ada di Lapago dan khususnya di Jayawijaya, ini kan aturannya sudah ditetapkan di Sidang Paripurna dan dikembalikan ke LMA untuk sosialisi,” kata Penas Kogoya.
Selain itu, pihak organisasi Gereja yang ada di Wilayah Lapago dan juga pemerintah di Wilayah Lapago tidak berperan baik dalam mengatur tatatan denda adat di dalam masyarakat.
Penas Kogoya menyebutkan, jika hal ini terus dipelihara, maka tentunya akan menguntungkan pihak-pihak lain dan meerugikan
pihak yang dituntut, karena tuntutan yang diberikan akan dilakukan sesuka hati tanpa memperimbangkan keadaan dan situasi social masyarakat.
Menurutnya, perlu ada komunikasi diantara pimpinan baik itu, DPRD, Pemerintah, LMA, organisasi Gereja dan organisasi lainnya dapat duduk bersama, untuk menentukan dan menetapkan aturan denda adat yang jelas, sehingga denda adat itu dapat digunakan secara umum untuk Wilayah Jayawijaya dan juga Lapago.
“Yang saya tahu kalau di Jayawijaya itu, denda adat bayar kepala itu 35 ekor ditambah uang, tetapi ini sangat berlebihan sekali, sehingga LMA perlu kaji ulang kinerjanya,” kata Penas Kogoya.
Padahal, kata Penas, DPRD telah menatapkan anggaran untuk LMA dapat melakukan sosialisasi dari tingkat masyarakat yang paling kecil, namun hal itu tidak dilakukan dengan baik, sehingga terjadi permintaan denda adat yang bisa dikatakan sesuka hati saja.
Penas Kogoya berharap dan menyarankan kepada LMA Jayawijaya dan Lapago, agar dapat melaksankan tugasnya dan juga dapat melakukan sosialisasi dengan baik kepada masyarakat, sehingga masyarakat dapat memahaminya.
Selain itu, dengan bentuk sosialisasi yang benar LMA Lapago dan Jayawijaya diminta untuk menetapkan satu harga Denda adat yang pasti dan jelas, sehingga denda adat itu dapat berlaku umum untuk semua wilayah yang ada di Wilayah Lapago dan khususnya di Jayawijaya.(NP)