JAYAPURA, Kawattimur – Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Papua ( BBKSDA) pada Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, Edward Sembiring menyebut Banjir bandang yang terjadi di Sentani, Kabupaten Jayapura, Sabtu malam bukan karena pembalakan liar sekitar pegunungan Cagar Alam Cyclop, melainkan luapan air lantaran hujan deras.
“berdasarkan analisa banjir bandang itu terjadi karena hujan lebat di hulu yang menyebabkan tanah tidak mampu lagi menyerap air, ” kata Edward Sembiring kepada pers disela-sela upacara hari Rimbawan di halaman kantor Gubernur Dok II Jayapura, Senin (18/3/2019).
Dia mengatakan,sesuai data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika curah hujan dengan intensitas sampai 114 militemer. Sementara perbandingannya dengan hujan di Jayapura sampai terjadi banjir di Pasar Youtefa, itu curah hujan hanya sampai 86 milimeter.
” Nah akibat besarnya volume air yang tidak mampu diserap itulah, tanah runtuh dan otomatis kayu termasuk yang berukuran besar tumban ke arah sungai dan terbawa sampai ke jalan-jalan di wilayah sentani dan sekitarnya,” katanya.
Balai Konservasi juga, lanjutnya melakukan analisis terhadap kali kemiri dan Sere yang tiba-tiba airnya kabur beberapa pekan lalu.
Setelah petugas Polisi Kehutanan bersama masyarakat setempat naik ke hulu untuk mengecek, ternyata ada longsor yang terjadi secara alami, sehingga menutupi daerah aliran sungai.
“dugaan kami setelah longsor, seperti ada terbentuk tanggul alam, sehingga ketika hujan tanggul tersebut jebol,” kata Edward.
Ia menambahkan, gempa bumi yang dalam sepekan diduga lantaran terjadi patahan sehingga mengakibatkan longsor yang terjadi di banyak titik.
“kami juga menganalis kejadian gempa terkahir, dan kita duga ada patahan, dan jalur patahan ada tanggul alam yang rusak,” katanya
Menyinggung akibat banjir karena masyarakat terus membuat kebun di wilayah pegunungan cyklop, Edward mengakuinya. Namun, dirinya mengakui banyak warga juga bermukim di kaki gunung.
“tidak dibenarkan orang membuat kebun di pegunungan cyclop, tetapi kita harus melihat dari aspek sosial dan ekonomi,” tutup Erwin. (TA)