Stigmatisasi dan Labelisasi: Sebuah Alat Dominasi

Oleh : Gembala Dr. A.G. Socratez Yoman

Dr. A.G. Socratez Yoman

Jayapura, (KT)- Sejak 19 Desember 1961, ketika Papua Barat secara paksa diintegrasikan ke dalam wilayah Indonesia, berbagai bentuk stigma dan labelisasi terus diproduksi oleh penguasa, termasuk TNI dan Kepolisian Indonesia. Label seperti Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) bukan sekadar istilah, tetapi menjadi alat legitimasi untuk menindak perlawanan rakyat Papua yang memperjuangkan hak politik, martabat, dan masa depan yang lebih adil.

Labelisasi negatif terhadap rakyat Papua bukanlah hal baru. Sebelumnya, berbagai istilah seperti Gerakan Pengacau Liar (GPL), Gerakan Pengacau Keamanan (GPK), separatis, makar, hingga Organisasi Papua Merdeka (OPM) telah digunakan untuk membenarkan tindakan represif negara. Bahkan, stigma sosial seperti terbelakang, termiskin, primitif, dan monyet telah digunakan untuk mendiskreditkan penduduk asli Papua.

Kesaksian dari Internal TNI
Laksamana Muda TNI (Purn) Soleman B. Ponto, mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (KABAIS) TNI (1996-2014), secara terbuka mengungkapkan bahwa istilah-istilah seperti KKB dan KSB diciptakan oleh aparat sendiri. “Kita (TNI) yang memberi nama KKB, KSB. Sekarang ini, suka-suka memberi nama,” ungkapnya dalam sebuah wawancara.

Sementara itu, Laksamana Muda TNI (Purn) Iskandar Sitompul juga mengakui bahwa stigma terhadap rakyat Papua sudah berlangsung lama. “Seperti dulu, kami kasih nama GPK. Saya masih ingat di kepala saya sampai sekarang,” ujarnya.

Pernyataan-pernyataan ini menunjukkan bahwa labelisasi terhadap Papua lebih bersifat politis daripada fakta di lapangan.

Sejarah Gelap Integrasi Papua
Integrasi Papua ke Indonesia sejak Trikora (1961) hingga Pepera (1969) telah meninggalkan luka mendalam. Rangkaian kebijakan seperti Otonomi Khusus 2001, Otonomi Khusus Jilid II 2021, pemekaran provinsi (DOB), dan transmigrasi besar-besaran tidak menyentuh akar persoalan, melainkan semakin memarjinalkan penduduk asli Papua.

LIPI dalam Papua Road Map (2008) mengidentifikasi empat akar utama konflik Papua:

Sejarah dan status politik Papua yang tidak pernah benar-benar diselesaikan.
Kekerasan negara dan pelanggaran HAM berat yang tidak pernah dituntaskan.
Diskriminasi dan marjinalisasi orang asli Papua di tanah mereka sendiri.
Kegagalan pembangunan dalam pendidikan, kesehatan, dan ekonomi yang semakin memperdalam ketimpangan sosial.
Mencari Pendekatan Baru untuk Papua

Indonesia perlu meninjau ulang paradigma pendekatan terhadap Papua. Seperti halnya penyelesaian konflik Aceh melalui dialog dengan GAM yang berujung pada Perjanjian Helsinki (2005), penyelesaian konflik Papua juga membutuhkan pendekatan berbasis dialog, bukan militerisasi.

Pendekatan represif terbukti tidak menyelesaikan masalah. Justru, pendekatan yang mengedepankan penghormatan terhadap hak asasi manusia, keadilan, dan pengakuan sejarah akan lebih efektif dalam membangun Papua yang damai dan sejahtera.

Doa dan harapan penulis, artikel ini menjadi refleksi bagi semua pihak untuk mencari solusi terbaik bagi Papua.

Ita Wakhu Purom, 15 Maret 2025

Penulis:

Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua (PGBWP)
Anggota Dewan Gereja Papua (WPCC)
Anggota Konferensi Gereja-gereja Pasifik (PCC)
Anggota Baptist World Alliance (BWA)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *