Jakarta, (KT) — Ketua Dewan Nasional SETARA Institute, Hendardi, menyampaikan keprihatinannya atas keputusan Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto yang membatalkan mutasi tujuh perwira tinggi TNI hanya sehari setelah surat mutasi itu diterbitkan. Salah satu nama yang paling menonjol dalam pembatalan ini adalah Letnan Jenderal Kunto Arief Wibowo, yang sebelumnya dimutasi dari jabatan Panglima Komando Gabungan Wilayah Pertahanan I (Pangkogabwilhan I) menjadi staf khusus Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD).
Keputusan mutasi awal tertuang dalam KEP 554/IV/2025 tertanggal 29 April 2025. Namun, hanya berselang sehari, tepatnya pada 30 April, Panglima TNI menerbitkan KEP 554.a/IV/2025 yang membatalkan mutasi tersebut.
“Pembatalan mutasi ini menguatkan dugaan adanya intervensi politik dalam tubuh TNI,” ujar Hendardi. Ia menyoroti bahwa mutasi tersebut terjadi tidak lama setelah Letjen Kunto bersama ratusan perwira TNI lainnya menyatakan sikap meminta pencopotan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka melalui pernyataan tertulis.
Meski Markas Besar TNI membantah adanya motif politik, dengan menegaskan mutasi sebagai bagian dari sistem pembinaan karier dan kebutuhan organisasi, Hendardi menyatakan bahwa publik sulit mempercayai klaim tersebut. Ia menilai keputusan yang berubah drastis dalam waktu satu hari menimbulkan kecurigaan besar atas profesionalisme proses mutasi.
“Letjen Kunto baru menjabat empat bulan sebagai Pangkogabwilhan I. Mutasi dalam masa sesingkat itu sangat tidak lazim, apalagi langsung dibatalkan dalam waktu satu hari,” ungkap Hendardi. Ia juga menilai bahwa proses mutasi dan pembatalannya tidak mencerminkan kerja Dewan Kepangkatan dan Jabatan Tinggi (Wanjakti) yang profesional dan objektif.
Lebih jauh, Hendardi memperingatkan bahwa TNI tidak boleh menjadi alat politik kekuasaan, termasuk menjadi perpanjangan kepentingan Presiden atau pihak-pihak yang mempengaruhinya. “TNI hanya boleh menjadi instrumen politik negara, menjalankan fungsi utama dalam bidang pertahanan, bukan melayani agenda politik,” tegasnya.
Menurut Hendardi, kejadian ini akan menggerus kepercayaan publik terhadap netralitas dan profesionalitas TNI. Apalagi sebelumnya Kapuspen TNI menyebut mutasi sebagai bagian dari upaya peningkatan kinerja dan soliditas organisasi. Namun, pernyataan tersebut menjadi kontradiktif setelah Panglima TNI sendiri menganulir keputusannya.
“Situasi ini sulit dipercaya publik sebagai hasil tata kelola profesional, melainkan lebih sebagai bentuk kompromi terhadap tekanan dan kepentingan politik,” pungkasnya.