JAYAPURA, Kawattimur – Puluhan pemuda intelektual yang tergabung dalam Solidaritas Peduli Masyarakat Adat Raja Ampat mendatangi kantor Majelis Rakyat Papua (MRP), Senin 26 November 2018. Mereka menyampaikan draft pernyataan sikap berisi 4 tuntutan yang dialamatkan kepada pemerintah daerah Kabupaten Raja Ampat atas tindakan “pembohongan publik” yang selama 2 tahun terakhir ini dilakukannya terhadap masyarakat adat setempat. Mereka diterima dengan baik oleh Ketua Pokja Adat MRP Papua yang membidangi Tanah Adat, Demas Tokoro.
Koordinator Solidaritas Peduli Masyarakat Adat Raja Ampat di Kota Jayapura, Don Renato saat ditemui wartawan usai menyerahkan draft tersebut menjelaskan, keempat isi pernyataan sikap itu antara lain; mendesak Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Raja Ampat agar transparan kepada publik dan pemilik hak ulayat atas dana pembebasan lahan adat yang digunakan untuk pembangunan di beberapa daerah tersebut, dimana biaya awal pembebasan lahan pada 2016 lalu telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Raja Ampat senilai Rp 20 miliar, namun hingga kini tidak jelas kepada siapa dibayarkan dan tidak ada pertanggungjawaban penggunaan dana tersebut ke publik.
Kedua, kata Renato, DPRD Raja Ampat telah mengesahkan Rp 22 milyar pembayaran hak ulayat masyarakat pemilik tanah adat dalam anggaran tahun 2018, untuk pelepasan beberapa wilayah pembangunan yang menggunakan lahan adat, seperti dua gedung DPRD, pembangunan daerah aliran sungai (DAS) di Waisai, namun hingga kini pihak pemerintah belum melaksanakan pembayaran ganti rugi tanah ulayat masyarakat.
Mereka pun meminta kejelasan, sejauh mana pembayaran tanah-tanah adat pada lokasi dibangunnya bandar-bandar udara di Yenkawir Distrik Kepulawan Ayau, Kabare, Waigeo Utara, Waisai Distrik Kota Waisai, dan Foley Distrik Misol Barat.
“Sejumlah masalah ini telah berlarut-larut dan sudah kronis tidak terselesaikan bahkan terkesan malas tau (dibiarkan -red) oleh pemerintah daerah Kabupaten Raja Ampat begitu saja. Mayarakat tidak menolak pembangunan, namun pemerintah yang bermain-main dan membodohi kami masyarakat adat di sana,” kata Renato dengan geram, sembari mengatakan jika dalam proyek pembangunan talut disepanjang DAS Waisai ada temuan kerugian negara yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Republik Indonesia.
Menanggapi berbagai masalah yang merugikan hak hidup masyarakat adat di Raja Ampat, melalui MRP, pihaknya bersama masyarakat Kabupaten Raja Ampat yang ada di Kota Jayapura mendesak agar Polda Papua Barat segera memproses apa yang menjadi perhatian publik yang selama ini telah dilaporkan ke Polres Raja Ampat dan juga temuan dari BPK.
“Hal ini kami lakukan agar transparan dalam membuka dan menuntaskan pemeriksaan talud Kali Waisai yang berindikasi merugikan keuangan negara milyaran rupiah sesuai temuan badan pemeriksaan keuangan negara. Polda harus pro aktif, sebab masyarakat sudah geram. Kami berniat baik untuk pembangunan namun diperlakukan tidak adil,” kata Renato yang didampingi Amri, salah satu mahasiswa asal Papua Barat kepada sejumlah wartawan di Kota Jayapura.
Ketua Pokja Adat MRP Papua, Demas Tokoro yang menerima perwakilan solidaritas tersebut menyatakan akan menindaklanjuti pengaduan itu. MRP Papua akan berkoorsinasi dengan MRP Papua Barat untuk mendesak Pemkab Raja Ampat dan Polda Papua Barat agar segera mengusut tuntas kasus tersebut.
“Ini sebuah aduan yang sangat menyakiti hati masyarakat. Hak mereka dirampas, identitas mereka tercerabut diatas tanahnya sendiri. Bahkan tanah adatnya dicaplok begitu saja. Tidak adil. Akan kita tindak lanjuti dengan segera berkoordinasi dengan rekan-rekan MRP Papua Barat,” tegas Demas Totoro.
Sementara, anggota Komisi B DPRD Raja Ampat, Roy Arfan saat dikonfirmasi Kawattimur, Selasa sore, membenarkan hal tersebut. Ia mengatakan, bahwa pada 2016 lalu DPR telah mensahkan anggaran dana Rp 20 miliar yang diajukan pemerintah daerah untuk pelepasan 141 hektar tanah adat untuk pembangunan di sekitar Waisai, yang merupakan wilayah adat Marga Daam dan Gaman Komlin. “Namun pengakuan bupati yang menjabat saat itu yakni Alm. Drs. Marcus Wanma M.Si telah dibayarkan ke masyarakat sekitar 13 miliar, tetapi laporannya tidak disampaikan ke publik,” pungkasnya.
Begitu juga dengan tahun 2018, kata dia, dimana Pemkab Raja Ampat dimasa kepemimpinan Abdul Faris Umlati,SE mengajukan Rp 22 miliar untuk menyelesaikan pembayaran tanah 141 hektar lahan tersebut, dan diketuk palu oleh DPRD. “Namun belakangan ketahuan bahwa terdapat 70 hektar diluar dari 141 hektar itu menjadi tanggungan dari Rp 22 miliar itu. Kemudian dia batalkan dan dikembalikan ke kas negara,” terang Roy Arfan, seraya mengatakan bahwa itulah puncak dari kekesalan masyarakat terhadap pemerintah daerah yang terkesan tidak serius menuntaskan masalah itu.
Kepala Adat dari Suku Gaman Komlim, Adam Gaman saat dihubungi Kawattimur dari Kota Jayapura, mengatakan, jika pihaknya sampai sekarang tidak mengetahui kepada siapa saja Rp 13 miliar dari total Rp 20 miliar itu dibayarkan oleh bupati sebelumnya. Bahkan para masyarakat adat sendiri tidak mengetahui adanya pembayaran tanah adat milik mereka.
Bahkan kata dia, masyarakat selama ini menjadi subjek yang dimanfaatkan oleh pemerintah untuk tujuan keuntungan pribadinya saja, dengan mengatasnamakan pembangunan. Sementara masyarakat adat menjadi korban atas pembangunan yang dibanggakan pemerintah daerah selama ini.
“Kami masyarakat janganlah dibodoh-bodohi terus. Stop tipu-tipu. Kami tidak menolak pembangunan, namun cara pemerintah itu tidak baik. Menganggap kami ini bisa dibodohi. Jika ini berlanjut kami akan tetap lakukan aksi pemalangan jalan menuju kantor pemerintahan dan akses publik. Kami minta pihak kepolisian mengusutnya supaya jelas siapa yang bermain dibalik tanah kami,” tegas Gaman. (Ara)