Perkara Keterbukaan Informasi Publik, KIPRa Papua Minta Masyarakat Awasi Kinerja OPD dan BPN

Perkara Keterbukaan Informasi Publik, KIPRa Papua Minta Masyarakat Awasi Kinerja OPD dan BPN

Jayapura, Kawattimur – Pengadilan Negeri Jayapura kembali memutuskan perkara 006 dan 008 atas Undang-undang  nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, yang melibatkan Yayasan Konsultasi Independen Pemberdayaan Rakyat (KIPRa) Papua (pemohon –red) dengan pihak termohon yakni Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Papua.

Ketuk palu perkara ini berakhir pada tanggal 11 Desember 2018, setelah sebelumnya menjalani 10 kali proses persidangan, sejak tanggal 25 September 2018. Kemenangan diperoleh KIPRa lantaran pihak BPN tidak dapat memberikan argumen kuat disertai fakta dan data, bahwa apa yang didalilkannya menyangkut informasi yang dibutuhkan oleh pihak pemohon selama ini, tidak dapat dipertanggungjawabkan di depan hukum.

Direktur Yayasan KIPRa Papua, Irianto Jacobus selaku pihak pemohon, mengungkapkan, langkah hukum yang diambilnya ini bertujuan untuk mewujudkan keterbukaan informasi bagi masyarakat yang selama ini terkesan ditutup-tutupi oleh instansi terkait di Provinsi Papua. Melihat upaya pemohon yang sejak Maret 2018 lalu meminta secara prosedural berbagai dokumen ‘legal standing’ beberapa perusahaan perkebunan di Kabupaten Keerom untuk di review pihaknya, tidak ditanggapi secara serius.

“Kebutuhan akan dokumen tersebut untuk direview ijin-ijin yang kemudian dapat menguntungkan masyarakat adat, serta dalam rangka mendorong terjadinya pelembagaan transparansi informasi publik,” ungkapnya kepada sejumlah awak media di Abepura, Jumat 21 Desember 2018.

Dijelaskan, adapun Perkara 006 adalah permintaan dokumen 3 perusahaan sawit yakni PT. Paloway Abadi, PT. Purni Perkasa Papua dan PT. Argo Utama dengan rincian dokumen meliputi: 1. Rencana Usaha; 2. Ijin Lokasi; 3. Peta Calon Lokasi; 4. Ijin Usaha; 5. Ijin Lingkungan; 6. Dokumen AMDAL (KA Andal; ANDAL; RKL; RPL), dan 7. SK Bupati.

Sedangkan untuk Perkara 008 dokumen yang diminta yakni SK Hak Guna Usaha (HGU) dan PETA Pemanfaatan dari 7 perusahaan sawit dan Hak Pengusahaan Hutan (HPH), diantaranya : 1. Palowai Abadi; 2. Sakti Perkasa Permai; 3. Purni Papua Jaya; 4. Agro Utama Papua; 5. PT PN2; 6. Tandan Sawit dan 7. Bumi Irian Perkasa.

“Terkait hal ini kami dari KIPRa telah mengajukan permintaan informasi ke BPN Provinsi Papua secara resmi pada tanggal 7 Maret 2018 untuk sejumlah dokumen perusahaan perkebunan tersebut. Namun dalam prosesnya, informasi dan dokumen yang kami minta tidak dipenuhi dengan alasan serta dalil bahwa dokumen tersebut adalah dokumen yang dikecualikan berdasarkan Perka BPN no. 6 Tahun 2013 serta Peraturan Menteri ATR,” beber Jacobus.

Melihat sejumlah perlakuan sepele yang dialaminya, Jacobus menilai bahwa BPN Provinsi Papua tidak profesional menjalankan tugas dan fungsinya sebagai alat negara untuk mengayomi masyarakat. Bahkan dikatakan, BPN menganggap remeh dan tidak penting mengahadiri sidang-sidang dari Komisi Informasi yang digelar di pengadilan.

“Pertanda ini kami temukan dimana perwakilan dari BPN Provinsi Papua berulang kali tidak hadir dalam sidang, dan tanpa alasan. Ketika menghadiri sidang pun tanpa membawa surat kuasa. Permintaan majelis hakim untuk membawa Dokumen Warkah diabaikan serta tidak melakukan uji kosekuensi,” ungkapnya lagi seraya menambahkan jika pihaknya akan melaporkan kinerja BPN Provinsi Papua ke Menteri ATR.

Program Officer Advokasi KIPRa, Astriyaamiati,SH menegaskan, pemerintah lewat seluruh Organisasi Perangkat Daerah (OPD) dan pihak BPN mestinya dapat bercermin melalui kasus yang dialaminya ini agar lebih berbenah memberikan pelayanan keterbukaan informasi bagi masyarakat. Apalagi kata dia, masyarakat di Papua yang umumnya masih minim pengetahuan tentang UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, perlu diberikan sosialisasi.

“Namun kami lihat OPD di kabupaten dan provinsi, bahkan dalam internal BPN Provinsi Papua sendiri belum menguasai sepenuhnya isi dari Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik ini. Pengetahuan mereka masih minim, sehingga terkesan menguntungkan pihak perusahaan dan mengabaikan kepentingan masyarakat sekitarnya. Untuk itu perlu ada tekanan, pengawasan serta penilaian dari masyarakat, media secara terus menerus terhadap kinerja dari OPD,” ujar Astrid nama akbrabnya ini, sekaligus memastikan bahwa keterbukaan informasi juga bagian dari Hak Asasi Manusia.

Perlu diketahui, KIPRa Papua adalah sebuah yayasan yang bergerak di bidang advokasi masyarakat. Tujuannya yaitu meningkatkan kualitas, fungsi dan peran masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya; penguatan akses dan penguatan budaya yang memberikan kesejahteraan.

Saat ini KIPRa fokus bekerja untuk beberapa kabupaten di Papua: yakni Jayapura, Kepulauan Yapen, Supiori, Nabire, Manokwari, Keerom, dan Kota Jayapura, dengan target penerima manfaat adalah masyarakat di daerah kampung dan perkotaan. (Ara)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *