JAYAPURA (KT) – Kasus yang menjerat 6 komisioner KPU Papua sebagai tersangka dugaan tindak Pidana Pemilu, menurut Ahli Hukum, Dr Heru Widodo, kasus tersebut berpotensi kuat tidak bisa berlanjut pada tahap P21. Ia berpendapat bahwasanya ada kejanggalan dalam proses penyidikan yang dinilai tidak sesuai UU Nomor 7 tahun 2019.
Melihat perkembangan kasus tersebut, dimana Per 1 Juli 2019, Bawaslu Papua mengeluarkan putusan terhadap laporan Ronald Engko per 11 Juni 2019 yang menyatakan terlapor (KPU Papua,red) terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pelanggaran terhadap mekanisme yaitu tidak teliti dan tidak cermat sehingga mengakibatkan terdapat 2 versi formulir DB1-DPRD Provinsi untuk Kota Jayapura dan merekomendasikan kepada KPU RI untuk memberikan teguran secara tertulis kepada KPU Provinsi Papua melalui Bawaslu RI.
Putusan tersebut berbeda jauh dengan adanya hasil penetapan Gakkumdu Papua, yang belakangan menetapkan 6 komisioner KPU Papua sebagai tersangka dugaan tindak pidana pemilu pengalihan suara per 8 Juli, sebagaimana laporan Ronlad Engko melalui SPKT Polda Papua pada 25 Juni 2019.
Pengacara yang menjadi Saksi Ahli bidang Hukum Pemilu Pasangan Jokowi-Ma’Ruf ini, berpendapat bahwa sudah sangat jelas kesimpulan Bawaslu bahwa perkara tersebut adalah pelanggaran administrasi , sehingga putusan tersebut tidak bisa serta-merta berubah menjadi Pidana Pemilu.
“Kalau sudah ada keputusan bahwa yang dilakukan adalah pelanggaran administrasi, tidak bisa kemudian berubah menjadi pidana pemilu. Jadi kategorinya administrasi, bukan Pidana ataupun Etik,” kata Heru Widodo kepada Kawat Timur via selularnya, Sabtu (13/7/2019).
Heru menjelaskan, hal itu juga bisa menjadi point pembelaan KPU, apalagi perkara tersebut baru penetapan tersangka, sehingga belum bisa dipastikan kasus itu berlanjut atau tidak ke pengadilan. Sebab, yang berwenang memutuskan adalah kejaksaan, apakah bisa atau tidak menerima berkas itu dengan status P21.
“Jadi meskipun tersangka, belum otomatis di sidangkan, sebab ada tahapan P19 dan setelah di periksa kejaksaan formil maupun materiil baru bisa di P21. Tapi kalau dilihat kondisi seperti itu, terdapat kemungkinan tidak bisa P21, karena terdapat proses penyidikan yang dinilai tidak sesuai UU Nomor 7,” jelasnya.
Lebih lanjut, Doktor jebolan Universitas Padjajaran ini menerangkan bahwasanya tindak pidana pemilu ada batasan waktu, sehingga jika dilihat dari proses laporan sejak 25 Juni hingga saat ini belum dilimpahkan ke pengadilan, ini bisa menjadi bahan pembelaan KPU.
“Sebab walaupun ini persoalan Pidana, tapi secara formil prosedur itu harus di taati, karena prosedur formil sifatnya limitatif, jadi tidak bisa di simpagi, prosedur formil yang di simpangi itulah yang menjadi cacat,” katanya.
Sementara dari sisi hukum materiilnya, lanjut Heru, apakah ada perbuatan pidana atau bukan, karena ada mekanisme koreksi hasil yang sedang berproses di MK, kemudian setelah itu ada perubahan, apakah perubahan tersebut merupakan tanggung jawab KPU Provinsi atau tanggung jawab KPU Kota Jayapura, karena itu awal persoalannya dari KPU Kota Jayapura, sehingga bisa di buktikan terhadap perbuatan pidana itu, apakah yang bertanggung jawab adalah komisioner KPU Provinsi Papua atau KPU Kota Jayapura
“Jadi dua hal yang masih perlu di buktikan yakni secara formil terkait tenggang waktunya, apakah masih masuk dalam tenggang waktu, karena tidak salah itu sudah lama proses di Pleno kota Jayapura yang diambil alih provinsi, dan kemudian setelah di bawa ke KPU RI, tenggang waktunya juga cukup lama, sementara ada batas waktu melaporkan pidana itu dalam perkara itu,” jelas Heru.
Sementara itu, sehubungan dengan penetapan Tersangka 6 (enam) Komisioner KPU Provinsi Papua oleh Gakkumdu Provinsi Papua, Pieter Ell selaku kuasa Hukum KPU Provinsi Papua meminta Gakkumdu Papua mengelurkan Surat Perintah Penghentian Pernyidikan (SP3) atas laporan yang diajukan oleh Caleg Partai Gerindra Dr. Ronald E . Engko, M.Si.
Dalam release yang diterima Kawat Timur, Pieter Ell menerangkan alasan-alasan permintaan tersebut dimana laporan tersebut sudah kadaluarsa, karena laporan tersebut sebelumnya diajukan kepada Bawaslu RI di Jakarta dan Bawaslu RI telah memberikan Keputusan bahwa laporan tersebut sudah kadaluarsa, tetapi anehnya laporan yang sama diajukan ke Bawaslu Provinsi Papua dan justru Bawaslu Provinsi Papua menindaklanjuti laporan tersebut yang notabene sudah kadaluarsa atau sudah lewat waktu 7 (tujuh) hari dari yang ditegaskan dalam Perbawaslu No.7 Tahun 2018, dimana laporan tersebut diduga terjadi pada tanggal 19 Mei 2019 tetapi baru diajukan ke Bawaslu Provinsi Papua pada tanggal 11 Juni 2019 sehingga sudah puluhan hari lamanya karenanya harus dinyatakan kadaluarsa.
Selanjutnya, Bahwa diduga Eror In Persona, karena yang seharusnya dijadikan Tersangka oleh Gakkumdu Provinsi Papua adalah Panitia Pemilhan Distrik (PPD) Distrik Heram Kota Jayapura serta Komisioner KPU Kota Jayapura, disanalah letak masalahnya dimana terdapat 2 (dua) Rekapitulasi versi DA1 Distrik Heram dan juga DB1 Sertifikat Perolehan Suara Tingkat Caleg DPR Provinsi Papua Dapil 1, dalam hal ini KPU Provinsi Papua atau Para Tersangka hanya merekap apa yang dihasilkan ataudiproduksi olehPanitia Pemilhan Distrik (PPD) maupunKPU Kota Jayapura. (TA)