Wamena (KT) – Menpolhukam bersama Panglima TNI dan Kapolri melakukan kunjungan Ke Wamena Kabupaten Jayawijaya.
Kedatangan Menpolhukam ke Jayawijaya bersama rombongan menggunakan Pesawat Herkules, dan diantara rombongan itu ikut serta juga beberapa Menteri, diantaranya Menteri Kesehatan, BUMN dan juga Menteri Sosial.
Setibanya di bandar Udara Wamena, rombongan diterima langsung oleh Pimpinan Daerah Provinsi Papua dan juga Pemerintah Kabupaten Jayawijaya.
Rombongan Menteri Polhukan tidak lama di bandar udara Wamena, karena melanjutkan perjalanya menuju Kodim 1702 Jayawijaya.
Sebelumnya, Mepolhukam, Wiranto juga melewati Pasar Wouma Wamena sebelum menuju ke Kodim 1702 Jayawijaya.
Dalam kunjungannya Ke Kodim 1702 Jayawijaya, Menpolhukan meluangkan waktunya untuk menyapa masyarakat warga pengungsi yang ada di Kodim 1702 Jayawijaya.
Dalam sambutannya, Wiranto mengajak seluruh lapisan masyarakat di Jayawijaya untuk dapat berdamai, dan bisa kembali menjalin kebersamaan membangun Kabupaten Jayawijaya.
“Sesuai pesan Presiden, kita sekarang saling memaafkan dan bisa bergandengan tangan bangun Jayawijaya,” kata Wiranto.
Wiranto mengajak seluruh warga Non Papua untuk tidak mengungsi ke luar Wamena, karena jaminan keamanan kepada semua warga telah dijamin oleh Negara melalui TNI dan Polri yang di tugaskan di Wamena.
Wiranto berharap, semua yang ada dan hidup di Wamena bisa kembali merajut kebersamaan untuk membangun rasa persatuan dan persaudaraan yang kuat dalam negara NKRI.
Diakuinya, tujuannya ke Wamena, guna melihat secara lansung dan bertemu dengan pimpinan daerah serta warga pengungsi yang ada di Wamena Kabupaten Jayawijaya.

Sementara itu Aktivis Pembela HAM di Wilayah Pegunungan Tengah Papua, Theo Hesegem menilai, pertemuan Menpolhukan dengan Pemerintah dan masyarakat Jayawijaya di Gedung Aithosa Wamena, Selasa (8/10/2019) bukanlah agenda Dialog.
Menurut Theo, jika diagendakan dialog, seharusnya pemerintah bisa memfasilitasi kedua belah pihak yang berseteru untuk duduk bersama di satu meja.
“Pertemuan ini bukan dialog, kalau dialog itu menghadirkan keduabelahpihak yang berbeda pendapat dan pandangan, pertemuan ini tatap muka bersama,” kata Theo Hesegem.
Selain itu, Theo juga menilai, pertemuan yang dilakukan di Gedung Aithousa Wamena tidak memiliki arti penting sama sekali.
Karena dalam pertemuan di Gedung Aithousa itu, banyak pihak yang tidak diberikan kesempatann untuk berbicara, baik itu keluarga yang mewakili korban-korban, perwakilan anak dan juga perwakilan perempuan.
Bahkan dirinya menyangkan adanya pembicaraan yang tidak harus dibicarakan dalam pertemuan itu, karena mereka yang maju dan berbicra di depan tidak mewakili keluarga korban baik anak dan orang dewasa.
Dirinya juga menyayangkan sikap Bapak Bupati Jayawijaya yang tidak memberikan kesempatan kepada pihak Komnas HAM dan pihak korban.
“Kalau memang tidak ada hal yang ingin dibicarakan, lebih baik Pak Bupati tidak usah undang kami,” kata Theo Hesegem.
Menurutnya, banyak tokoh penting yang diundang, diantaranya tokoh pembela HAM, Gereja, Perempuan dan Anak, namun dari semua itu tidak diberikan kesempatan untuk bicara.
Menurutnya, 3 orang yang diberikan kesempatan untuk maju dan berbicara di depan, sama sekali tidak mewakili siapa-siapa, baik itu Ibu-ibu, anak-anak, korban dan lainnya.
Diakui, dirinya dan semua pihak sangat kecewa, karena apa yang harus disampaikan oleh perwakilan keluarga korban sama sekali tidak diberikan kesempatan pada pertemuan di Gedung Aithousa.
Ia juga menyayangkan dan berharap agar Mepolhukam tidak boleh menganggap bahwa masalah Papua adalah masalah kecil, karena dalam aksi 23 September sudah ada teriakan merdeka.
Sementara itu, Fredy Huby yang mewakili Suku Mukoko mengharapkan agar Pemerintah bisa melihat semua pihak korban baik itu pendatang maupun orang asli yang ada di Wamena.
Dirinya juga berharap, Panglima dan Kapolri bisa kembali ke Wamena dan melakukan tatap muka langsung dengan pihak-pihak korban, agar apa yang ingin disampaikan dapat didengarkan dan dilanjutkan ke Presiden. (NP)