Kejaksaan Panggil Bupati Keerom Untuk Dimintai Keterangan Dalam Dugaan Korupsi Dana Bansos

JAYAPURA (KT) – Penyidik Kejaksaan Tinggi (Kejati) Papua memanggil Bupati Keerom, Muhammad Markum sebagai saksi dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi pengelolaan anggaran dana bantuan sosial (Bansos) tahun 2017. Pemanggilan itu tertuang dalam surat Kejaksaan Nomor : SP-02/R.1/Fd.1/01/2020 tertanggal 24 Januari yang ditanda tangani Kela Kejaksaan Tinggi Papua Nikolai Kondomo SH, MH.

Menurut Aspidsus Kajati Papua, Alex Sinuraya, pemanggilan Bupati Keerom dalam hal ini sebagai saksi, untuk dimintai keterangan terkait mekanisme realisasi anggaran Dana Bansos/Hibah kabupaten setempat, yang diduga belum dipertanggungjawabkan sebesar Rp23 Miliar sekian dari total dana sebesar Rp33,5 Miliar sekian tahun 2017 lalu.

“Hari ini jadwal pemeriksaan untuk Pak Bupati, tapi, tapi katanya jadwalnya bertabrakan dengan agenda di Jakarta, beliau masih ada urusan dinas di Jakarta, sehingga akan kita jadwal ulang,” kata Alex kepada Kawat Timur, Kamis (30/1/2020).

Selain Bupati, kata Aspidsus, Penyidik Kejati juga telah meminta keterangan dari 15 orang saksi, yang merupakan orang pemberi dan penerima hibab/bansos. “Kalau pemeriksaan hampir sudah 15 orang, kita juga sudua periksa Kabag Keuangan, bendahara, kabid-kabid yang mengatur mekanisme penerimaan dana itu,” katanya.

Ia menjelaskan kasus ini sendiri mencuat setelah adanya temuan BPK, dimana ada pertanggung jawaban penggunaan dana bansos ini yang belum di yakini pertanggung jawabannya. Namun, menurut Alex pihaknya tidak akan sembrono men-just bahwa temuan tersebut sudah masuk kategori tindak pidana korupsi, sebab sejauh ini setelah dilakukan pemeriksaan terhadap saksi-saksi, Kejati menemukan adanya fakta yang berbeda terkait kasus tersebut.

“Jadi hasil sementara yang kami temukan hasil audit BPK ini sudah jauh berbeda dengan fakta yang ada. Artinya pertanggung jawaban sudah rampung meski belum secara keseluruhan,” jelasnya sembari mengingatkan Kejaksaan tetap melakukan pendalaman terhadap kasus tersebut untuk mencari adanya indikasi korupsi terkait penggunaan dana tersebut.

Ia mengaku, bahwasanya saat pemeriksaan BPK, bukti-bukti pertanggung jawaban tersebut tidak ada saat itu. Dan memang perlu di maklumi lantaran kondisi geografis Papua, dan itu memang menjadi kendala. ” intinya kita meminta meminta pertanggung jawaban dari dana yang sudah di gunakan, dan ingat pertanggung jawaban ini tidak gampang, apalagi hampir di katakan ratusan hingga ribuan sehingga itu tidak bisa di karang-karang,” kata Aspidsus menepis adanya peluang bagi para terduga pelaku membuat pertanggung jawaban dadakan.

Jadi dalam proses penyidikan ini, kata Aspidsus, penyidik juga melihat tahapan dari penyaluran serta penggunaan dana tersebut, apakah sesuai mekanisme atau tidak. Sebab ini, berkaitan dengan keputusan. ” Bansos ini kan tidak bisa bisa tiba-tiba, ada ratusan hingga ribuan pertanggung jawaban, sehingga walaupun sudah ada pertanggung jawaban dari 15 saksi, itu tidak serta merta dikatakan tidak ada dugaan disitu, kami akan terus menggali,” jelasnya.

Kasus ini sendiri mencuat sejak Juni 2019 lalu, dimana terdapat dana hibah senilai Rp 57 miliar dan dana bansos Rp 23 miliar. Jumlah keseluruhan dana hibah dan bansos yang ada pertanggungjawabannya hanya sekitar Rp 20 miliar. Dan terdapat Rp 60 miliar yang belum dipertanggungjawabkan. (TA)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *