JAYAPURA (KT) – Yan Mandenas kembali bersuara tegas atas tudingan terhadap dirinya, yang disebut-sebut menyerang lembaga MRP dan tidak memahami perintah pada pasal 1- 79 UU Nomor 22 Tahun 2021 tentang perubahan kedua UU Otonomi Khusus (Otsus) Papua.
Mandenas yang notabene adalah salah satu anggota dalam pansus revisi UU Otsus, justru dituding tidak paham dengan tupoksi MRP sebagaimana tertuang dalam UU Otsus, lantaran bersuara lantang dan meminta MRP untuk kembali ke marwahnya sebagai lembaga kultur, agama dan perempuan tanpa harus terlibat jauh dalam politik praktis.
Menanggapi tudingan tersebut, Mandenas kembali mengingatkan kepada Benny Sweny bahwa MRP-lah yang harus memahami secara baik isi dari pasal tersebut dan tidak boleh menafsirkan tupoksi MRP hanya karena dilatar belakangi kepentingan kelompok tertentu ataupun pihak yang terafiliasi dalam MRP itu sendiri.
” Saya pikir, MRP-lah yang wajib membaca kembali dan menafsirkan pasal demi pasal tersebut dengan baik. Pasal 1 hingga 79 yang dimaksud, itu tidak ada satupun syarat yang diberikan kepada MRP sebagai lembaga kultur dan lembaga yang mewakili adat dan perempuan untuk menyampaikan aspirasi yang sifatnya politis,” tegas Mandenas.
Alasan Mandenas menyebut aspirasi tersebut politis, lantaran aspirasi yang dihantar MRP kepada Pemerintah Pusat adalah aspirasi demonstrasi masssa, yang sarat kepentingan politik praktis.
” Dan saya tegaskan, aspirasi demonstarasi masyarakat itu dikategorikan sebagai aspirasi kelompok, bukan aspirasi masyarakat adat Papua, itu yang perlu dicatat baik,” tegasnya.
Lanjutnya, jikapun jika MRP ingin menjaring aspirasi masyarakat adat Papua, maka itu harus melakukan hearing dialog dengan tujuh wilayah adat, sehingga dapat mendengar langsung apa yang disampaikan oleh masyarakat adat, untuk selanjutnya aspirasi yang dijaring dari masyarkat itulah yang dibawa dan disampaikan kepada Presiden, Menkopolhukam dan DPR-RI.
“Namun kenyataannya, yang mereka (Pimpinan dan anggota MRP, red) bawa ke
Pusat tidak merepsentasikan masyarakat adat, perempuan dan agama, Namun aspirasi dari kelompok yang menolak otsus dan pemekaran DOB di Papua,” katanya.
Ironisnya lagi, kata Mandenas dari 7 wilayah adat yang ada di Papua, tidak semuanya menolak pemekaran 3 provinsi yang saat ini tengah dalam pembahasan di DPR-RI. Seperti wilayah adat Animha memberikan dukungan 100 persen untuk Pembentukan Provinsi Papua Selatan, demikian juga wilayah adat Tabi dan Saireri, bahkan untuk wilayah Meepago sebagaian besar masyrakatnya mendukung pemekaran itu
“Lantas kalau MRP datang ke Jakarta dan bawa penolakan DOB, artinya inikan sifatnya sangat politis dan tidak menggambarkan lembaga kultur dan perwakilan adat, agama dan perempuan,” kata Mandenas lagi.
Sehingga Mandenas kembali ingatkan MRP untuk baca ulang dan tafsirkan isi pasal 1 hingga 79 dengan baik, agar tidak mempermalukan diri sendiri. “MRP bukan mewakili personal mereka sendiri, tapi merepsentasikan lembaga dan didalam lembaga itu ada 7 perwakilan wilayah ada yang terdiri perempuan, adat dan agama.
“Jadi saya katakan lagi, pernyataan Benny Swenny dan langkah yang dilakukan Pimpinan MRP dan anggotanya sangat keliru dan mencederai amanat Otsus, yang dimana seharusnya MRP datang ke Jakarta bertemu Presiden dan sampaikan kondisi yang sesungguhnya bahwasanya tidak semua wilayah adat menolak DOB, dan bukan datang menyampaikan dan mengatastamakan masyarakat adat yang persentasi serta aergumentasinya sangat diragukan dan hanya berdasarkan kemauan pimpinan MRP dan kepentingan kelompok tertentu saja,” jelas Mandenas.
Sebelumnya, pasca pernyataan tegas Yan Mandenas terkait dengan peran MRP yang dianggap telah melenceng dari marwahnya sebagai lembaga kultur, perempuan dan agama, dianggap telah menyerang MRP. Benny Sweni mewakili Ketua MRP menilai Mandenas tidak memahami isi dari pasal 1 hingga 79 dalam UU Otsus dan menyatakan langkah MRP menemui Presiden dan DPR-RI merupakan langkah konstitusional. **