Wamena,( KT)- Pemerintah Kabupaten Jayawijaya, TNI/Polri, Kejaksaan Negeri Wamena, Pengadilan Wamena, Tokoh Agama,Tokoh Perempuan, DPRD Jayawijaya dan keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat kasus Wamena mengikuti peluncuran program Program Non Yudisial melalui Zoom Rabu, (28/6/23).
Usai mengikuti acara tersebut, Sekretaris Daerah Kabupaten Jayawijaya Tonny M. Mayor, S.Pd.,MM mengatakan, peluncuran dilakukan secara simbolis di Aceh, program penerima manfaat, keluarga korban Pelanggaran HAM berat oleh Persiden RI Joko Widodo, untuk semua termasuk Papua lebih kusus Wamena.
” Itu secara simbolis dilakukan oleh Presiden di Aceh untuk semua keluarga korban pelanggaran HAM berat yang sebagai pewaris, dilakukann secara simbolis ,” jelasnya.
Menurutnya, kasus untuk Papua khususnya Kabupaten Jayawijaya sebelumya tim Kemenko Pulhukam ke Wamena kepada keluarga korban, namun komunikasi kurang intens.
“Karena secara budaya tim harus melalui rumah ke rumah secara terbuka agar tidak terjadi kecurigaan terbuka. Program ini juga atas desakan pihak Komnas HAM memberikan rekomendasi ke pemerintah RI, sehingga sudah nyatakan,” jelasnya.
Pemerintah Republik Indonesia juga mengakui kesalahan, mengajukan pelanggaran, Namun karena kurang bukti yang cukup kembali dibebaskan.
“Dari Pengadilan bisa bebas karena tidak cukup bukti, tapi kan para korban ini pasti ada luka sehingga pemerintah programkan seperti penerima kartu sehat berobat gratis, pendidikan beasiswa untuk sekolah, kalo mau minta rumah atau tempat ibadah kita sampaikan seperti di Aceh, beberapa bangunan ibadah sesuai permintaan,” jelasnya.
Keluarga korban kasus Wamena masi terjadi mis komunikasi, pemda membuka diri, apa bila berkeinginan menerima program ini, Pemda bersedia fasilitasi ke pusat.
“Kita sudah tua-tua ini, akan mati tapi untuk masa depan anak-anak kita sebagai penerus, mereka juga kelola program yang bermanfaat, jadi saya kira harus terima,” ungkapnya.
Sementara itu aktivis HAM asal Papua Theo Hesegem mengatakan, penyelesaian pelanggaran Ham masa lalu adalah agenda Kenegaraan yang sangat penting, sehingga Presiden RI mengeluarkan kepres nomor 17 Tahun 2022, kemudian bentuklah Tim yang disebut PPHAM, karena diangap penting dan diselesaikan secara serius.
“setelah kepres nomor 17 Tahun 2022 habis, Presiden RI mengeluarkan Kepres Kembali pada tahun 2023.
Berarti, dianggap agenda Penyelesaian pelanggaran HAM judisial dan Non judisial sangat penting dan serius,” kata Hesegem.
Oleh sebab itu, seharusnya PPHAM memiliki jadwal yang tetap dan jelas, sehingga kita semua mengikuti sesuai dengan jadwal yang sudah ditetapkan secara kenegaraan agar diskusi dengan Presiden RI tidak terkesan terburu- buru, apa lagi mau lakukan zoom dengan Presiden RI yang merupakan sebagai orang Nomor satu di Indonesia.
“Saya sangat percaya bahwa Presiden punya waktu yang sangat singkat, dan diskusi itu tidak akan memuaskan bagi keluarga korban dan pasti korban akan pulang dengan rasa penyesalan, kecuali diskusi langsung dan bertatap muka antara Korban dan Presiden dan itu cerita lain,” katanya.
Kita juga sangat paham Presiden juga punya agenda yang sangat besar dengan Pesta Demokrasi di Indonesia dan mau duduk lama dengan keluarga korban di seluruh Indonesia itu sangat tidak mungkin kecuali Presiden sangat serius lama duduk dengan korban.
“Perlu juga ketahui bahwa agenda kenegaraan tidak bisa mengundang orang melalui WhatsApp, undangan yang dikeluarkan pada tangga 26 Juni 2023, mengundang kepada Tokoh Gereja,Tokoh masyarakat, tokoh pemuda, tokoh Perempuan, dan Keluarga Korban dan Korban adalah undangan yang menurut saya terkesan terburu-buru.
Apa lagi peserta atau keluarga korban akan diskusi dengan Presiden RI melalui zoom pada tanggal 27 Juni 2023,”kesalnya.
Menurutnya, soal perubahan Waktu adalah kegagalan Tim PPHAM yang tidak punya target waktu yang jelas untuk menyusun jadwal dengan baik.
“Agenda negara yang sangat penting seharusnya tidak boleh begitu, undangan seharusnya beredar satu atau dua hari sebelumnya, persoalannya adalah tim tiba di Wamena, kemudian undangan beredar melalui WhatsApp, hanya melalui catatan biasa, bukan surat secara fisik, tanpa kop surat, dan tidak jelas agendanya dan tempat kegiatan,”tegasnya.
Orang-orang yang terlibat dalam tim PPHAM bukan gagal paham, mereka semua adalah Doktor, Profesor, orang-orang hebat, pintar dan luar biasa, dan biasanyakan, setiap surat mestinya harus di agendakan, karena penyelesaian pelanggaran Ham seluruh Indonesia adalah agenda Negara dan sangat penting.
“Bagian ini perlu di Evaluasi oleh Tim PPHAM, melibatkan korban itu bukan suatu hal yang begitu gampang seperti putar telapak tangan, dan sangat membutuhkan waktu, tidak mungkin diselesaikan dalam waktu yang singkat. Apalagi kasus Wamena telah memakan waktu yang cukup lama, hingga memakan waktu 20 tahun dan ini sangat membosankan kepada keluarga korban,”katanya.
Selain itu, penting juga adalah Penyelesaian pelanggaran ham, bisa dapat selesaikan atau tidak semua ada pada korban-korban bukan siapa-siapa, Pemerintah tidak punya hak memaksakan korban dan keluarga korban, mereka menerima dan tidak, kembali kepada korban. (AW)