Kemiskinan Abadi Orang Asli Papua Barat: Sebuah Realitas yang Terabaikan

Oleh Gembala Dr. A.G. Socratez Yoman

Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua, Dr. A.G. Socratez Yoman

Jayapura, (KT)- Kemiskinan Parah Orang Asli Papua Barat
Kemiskinan yang melanda penduduk asli Papua Barat (POAP) adalah hasil dari sejarah panjang penjajahan dan penindasan yang dilakukan oleh Indonesia sejak 19 Desember 1961. Sejak saat itu, tanah Papua Barat, yang pada 1 Desember 1961 merayakan kemerdekaannya dengan simbol negara yang sah, telah dianeksasi melalui serangkaian kebijakan kolonial yang brutal.

Maklumat Trikora yang dikeluarkan oleh Presiden Sukarno pada 1961 menjadi awal dimulainya dominasi Indonesia atas Papua, tanpa melibatkan suara rakyat Papua. Selain itu, kesepakatan politik yang dibuat dengan PBB, yakni New York Agreement pada 15 Agustus 1962, dan penyerahan sepihak kepada Indonesia pada 1 Mei 1963, semakin mengubur harapan kemerdekaan bangsa Papua Barat.

Sejak itu, Indonesia tidak hanya menguasai Papua secara fisik, tetapi juga secara sistematis merampok sumber daya alam yang melimpah di sana, dari tambang emas hingga hutan tropis. Sumber daya ini dimanfaatkan oleh penguasa kolonial Indonesia dan pihak-pihak lain, sementara rakyat Papua Barat terus terperosok dalam kemiskinan yang semakin dalam.

Label dan Stigma Sosial: Penindasan Sistematis
Bukan hanya perampokan sumber daya alam yang dialami oleh orang asli Papua Barat, tetapi juga stigma dan label yang diberikan oleh pemerintah Indonesia dan aparat militer. Orang Papua sering diberi label sebagai “teroris”, “separatis”, “OPM” (Organisasi Papua Merdeka), atau “GPK” (Gerakan Pengacau Keamanan). Label ini dipergunakan untuk memandang rendah, menekan, dan menghalangi upaya perlawanan terhadap penjajahan yang terus berlangsung.

Fakta bahwa Indonesia dengan bebas memberikan label-label tersebut kepada penduduk asli Papua menunjukkan bagaimana pemerintah Indonesia mengelola konflik ini bukan untuk menyelesaikan permasalahan, tetapi untuk memanfaatkan situasi demi kepentingan politik dan ekonomi mereka.

Sumber Daya Alam: Apa yang Diperoleh Orang Papua?
Presiden Joko Widodo meresmikan smelter PT Freeport Indonesia di Gresik, Jawa Timur pada 23 September 2023. Smelter ini, yang dibangun dengan dana dan tenaga kerja asing, tidak memberikan manfaat langsung bagi orang asli Papua, meskipun mereka adalah pemilik tanah yang kaya akan sumber daya alam tersebut. Dengan jarak 2.879 km antara Papua Barat dan Jawa Timur, dan pemindahan hasil tambang ke luar Papua, rakyat Papua tidak merasakan manfaat dari kekayaan alam yang ada di tanah mereka sendiri.

Perampokan Sejarah dan Pemiskinan Sistematis
Kemiskinan yang parah ini tidak terjadi begitu saja, melainkan merupakan bagian dari agenda kolonial yang telah berlangsung selama lebih dari enam dekade. Pemerintah Indonesia sengaja menciptakan kesenjangan sosial yang besar, dengan memanfaatkan ketimpangan politik dan ekonomi di Papua. Keadaan ini dijelaskan oleh para tokoh seperti Romo Franz Magnis-Suseno dan Pastor Frans Lieshout, yang menyebutkan Papua sebagai “luka membusuk” di tubuh bangsa Indonesia, sebuah kenyataan yang tidak bisa disembunyikan.

Kebrutalan Kolonial Indonesia
Komentar dari beberapa mantan pejabat tinggi militer Indonesia, seperti Laksamana Muda (Purn) Soleman B. Ponto dan Laksamana Muda (Purn) Iskandar Sitompul, menunjukkan bagaimana label seperti KKB dan GPK diberikan oleh pihak militer Indonesia dengan tujuan untuk menekan perlawanan rakyat Papua, meskipun itu hanyalah reaksi terhadap penjajahan yang terus berlangsung.

Kemiskinan yang dialami oleh orang asli Papua Barat adalah hasil dari perampokan dan penjajahan yang terus berlangsung. Mereka dipaksa untuk hidup dalam keterbelakangan dan kemiskinan, sementara kekayaan alam mereka terus dieksploitasi oleh pihak lain. Negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan Belanda juga memiliki peran dalam proses ini, meskipun tidak secara langsung terlibat dalam pengelolaan sumber daya alam Papua.

Pernyataan Jenderal Ali Murtopo: Ancaman Terhadap Kemerdekaan Papua
Salah satu contoh dari kebrutalan kolonial Indonesia adalah pernyataan Jenderal TNI Purn. Ali Murtopo pada 2 Agustus 1969, yang mengancam orang Papua dengan perkataan:
“Kalau mau merdeka sebaiknya tanyakan pada Tuhan apakah dia bisa berbaik hati membesarkan pulau di tengah Samudra Pasifik supaya bisa bermigrasi ke sana. Kami hanya butuh TANAH ini, kami tidak perlu dengan kamu orang-orang Papua.”

Pernyataan ini menunjukkan bahwa bagi Indonesia, tanah Papua adalah sesuatu yang harus dikuasai, sementara orang Papua sendiri dipandang sebagai penghalang yang tidak penting.

Pengabaian Kemanusiaan
Pertanyaan mendasar yang harus diajukan adalah apakah para penguasa Indonesia, aparat militer, dan kepolisian Indonesia telah kehilangan kemanusiaan mereka dalam memperlakukan orang asli Papua dengan kekejaman yang tidak berperikemanusiaan. Label dan stigma yang diberikan kepada POAP seharusnya menjadi bahan refleksi bagi pemerintah Indonesia mengenai bagaimana mereka memperlakukan saudara sebangsa mereka yang terpinggirkan di ujung timur Indonesia.

Sebagai penutup, kita mengingat perkataan seorang pendeta mantan tahanan dari rezim apartheid Afrika Selatan yang diabadikan oleh Desmond Tutu dalam bukunya:
“Omong-omong, ini adalah anak-anak Tuhan dan mereka berperilaku seperti binatang. Mereka membutuhkan kita untuk membantu memulihkan kemanusiaan mereka yang telah hilang.”

Refleksi Terhadap Papua Barat
Kemiskinan yang dialami oleh penduduk asli Papua Barat adalah hasil dari kebijakan yang penuh kekejaman, penindasan, dan ketidakadilan yang sudah berlangsung lebih dari 60 tahun. Pemerintah Indonesia harus melihat kembali kebijakan mereka terhadap Papua dan mengevaluasi sejauh mana mereka telah memperlakukan orang Papua sebagai sesama anak bangsa.

Penulis:

Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua (PGBWP).
Anggota Dewan Gereja Papua (WPCC).
Anggota Konferensi Gereja-gereja Pasifik (PCC).
Anggota Baptist World Alliance (BWA).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *