JAYAPURA (KT) – Terkait dengan situasi kamtibmas Papua beberapa waktu terakhir, di harapkan adanya dialog dan komunikasi dari pemerintah dengan menghadirkan masyarakat, tokoh agama, adat serta pihak-pihak berkompeten.
Dalam dialog melalui RRI, Rabu (2/9/2019), Wakil Ketua Persatuan Gereja Gereja Papua (PGGP), Hiskia Yarollo menilai kondisi yang terjadi di Papua beberapa waktu terakhir sebenarnya hanya letupan kecil yang sudah terakumulasi lama, Inilah yang berakibat terjadinya keresahan antar masyarakat bahkan menimbulkan dikotomi.
“Saya pikir hal ini tak perlu terjadi, tidak perlu ada dikotomi, tapi mari kita bersama saling rangkul dan duduk bersama sehari untuk mengembalikan kedamaian di tanah Papua,” katanya
Ia mengatakan, peran PGGP dalam hal ini telah membuat semacam maklumat kepada seluruh jemaat Kristen di Papua untuk satu komitmen bersama hadirkan damai di tanah Papua dan tetap ada di negeri ini apapun situasi dan kondisi.
“Apakah kita berdialog bersama dengan masyarakat Papua, ataukah kita bersepakat bersama yang intinya bagaimana Papua dikembalikan sebagai Tanah Damai,” katanya yang juga mengaku bahwa PGGP telah membentuk tim kerja untuk merangkul umat dengan penegasan khusus untuk doa dan puasa .
“Kita bergumul, berdoa dan meminta dengan harapan ada orang netral, yang dapat menyatukan dan mengakhiri semua kondisi yang terjadi saat ini,” kata ia.
K.H. Syaiful Islam Al-Payage selalu Ketua MUI Papua berharap adanya dialog yang di lakukan pemerintah. Menurutnya, dialog tersebut tak berarti meminta sesuatu, namun menghasilkan win win solution.
Lebih jelasnya, kata Al Payage dalam koteks pandangan MUI, ada bebera hal penting yang perlu menjadi perhatian, dimana tak perlu ada lagi saling membully, membunuh dan menyerang. “Ini penting baik itu orang Papua atau siapapun. Karena yang berhak cabut nyawa manusia itu hanya tuhan. Sehingga kita sampaikan untuk tahan diri agar jangan menambah korban, karena ini memang perlu di sikapi bersama,” katanya.
Al-Payage sependapat dengan Pendeta Hiskia, dimana peristiwa yang terjadi sebagai akumulasi atas ketidakadilan yang dialami orang Papua, dalam hal pendidikan, keehatan, ekonomi, politik dan semacamanya.
“Dalam hal ini kami menanyankan adanya keadilan, karena orang ini takkan terpancing jika terpenuhi segala aspek kebutuhan itu. Ini tugas Negara yang harus diselesaikan secara total, yang penting keadilan tak harus sama rata. Keadilan saudara kita di jawa, belum tentu di samakan dengan Papua,” katanya
Demikian pula soal adanya penegakkan hukum yang menurutnya tidak berjalan sesuai aturan, yang akhirnya membias. Padahal Negara Indonesia menjadikan hukum itu sebagai panglima. “ada semacam penerapan hukum yang terkesan tidak adil, banyak saudara yang meninggal tapi tidak di proses. Ini perlu di selesaikan. Siapapun yang bersalah harus di proses hukum,” tegasnya
Sehingga MUI dalam hal ini menyarankan perlu ada penelitian dalam semua konteks, apa sebenarnya yang dibutuhkan masyarakat Papua. “ ini penting sehingga sasaran tepat dan bisa menuju kedamaian,” katanya berharap seluruh umat Muslim khususnya dan masyarakat di Papua umumnya untuk lebih menahan diri dan jangan terpancing.
“Serahkan itu kepada penenak hukum. Penyelesaian masalah tak perlu menghadirkan masalah baru, akan lebih arif dan bijakana serahkan itu kepada penegak hukum.
Dari akumulasi semua yang terjadi di Papua, harus di dialogkan, dialog bukan berarti meminta lebih tapi harus ada win win solution, sehingga saya piker kita sudah tau semua,” jelasnya.
Demikian juga di sampaikan Ketua LMA Kota Jayapura, George Awi. Dari pandangan masyarakat Adat menurutnya, perlu ada komunikasi dimana semua media harus di optimalkan, termasuk media tradisional.
“Komunikasi yang selama ini belum berjalan optimal. Pemerintah tidak berhasil mengindonesiakan orang Papua sehingga timbul Istilah saya OAP ko pendatang sementara di daerah tidak ada seperti itu,” katanya
Edukasi yang dilakukan tokoh adat, kata Georde sifatnya hanya mentrasformasikan nilai budaya adat, memberi pembelajaran, pendidikan dan edukasi kepada masyarakat dalam dalam bertindak dan bersikap agar senantiasa dalam koridor.
Ia juga menyoroti posisi adat di Papua yang terkesan tidak mendapat perhatian khusus pemerintah. Padahal adat itu sangat penting.
“Yang sangat ironis adat tidak pernah ditempatkan dalam posisi yang baik oleh pemerintah, bisa dilihat alokasi untuk kebudayaan yang diberikan pemerintah sangat kecil, lantas saat terjadi masalah adat harus ada. Ini satu logika berpikir yang saya tidak mengerti,” jelas Ia.
Lanjutnya, Pemerintah perlu menginvetarisasi dan identivikasi budaya, sehingga dapat diakumulasikan dalam program pembangunan dalam metode yang tepat.
Sementara, yang terjadi program pemerintah hanya cenderung kepada infrastruktur tapi aspek budaya itu tidak dilakukan penkajian, sementara saat posisi seperti saat ini adat terkesan dipersalahkan.
“Itu tidak bisa, kalau kita mau menuju jalan dalam perlu di inventarisasi masalah adat karena yang banyak di soroti itu lebih kepada persoalan antropologis dan sosiologis, setelah itu baru penegakan hukum,” jelasnya menyatakan sependapat dengan saran Ustad Alpayage.
“Bagaimana orang Papua merasa adil di Indonesia, semua sektor di kuasai. Jadi mewakili masyarakat adat , saya sampaikan perlu ada komunikasi antara pemerintah dengan masyarakat,” harapnya.