Jayapura, Kawattimur, Meski dalam periode 6 bulan terakhir persentase penduduk miskin di Papua mengalami penurunan sebesar 0,31 persen, namun Provinsi paling Timur Indonesia ini masih merupakan provinsi termiskin di Indonesia diikuti Papua Barat dan Nusa Tenggara Timur. Penduduk miskin di Papua mencapai 27,43 persen. Hal itu diungkapkan oleh Kepala Bidang Statistik Sosial Badan Pusat Statistik Provinsi Papua, Bagas Susilo, Selasa 15 Januari.
“Persentase penduduk miskin di Provinsi Papua selama 6 bulan terakhir mengalami penurunan sebesar 0,31 persen poin yaitu dari 27, 74 persen pada Maret 2018 menjadi 27, 43 persen pada September 2018. Meski ada penurunan, tapi Papua masih berkutat sebagai provinsi termiskin dari 34 provinsi yang ada di Indonesia,”ujarnya.
Lanjut dia, peranan komoditi makanan terhadap garis kemiskinan di Papua, jauh lebih besar dibandingkan peranan komoditi bukan makanan, yakni berbanding 75 persen dengan 25 persen. “Komoditi makanan berperan besar terhadap garis kemiskinan di Provinsi Papua, didaerah perkotaan adalah beras, rokok kretek, tongkol/tuna/cakalang dan daging ayam ras. Sedangkan di pedesaan adalah ketela rambat, beras, rokok kretek dan daging babi,”jelasnya.
Jika dilihat menurut tipe daerah, penduduk miskin di Papua terkonsentrasi di daerah pedesaan, dimana, 36,65 persen penduduk miskin tinggal di pedesaan. “Kantong-kantong penduduk miskin di Papua di wilayah pedesaan di dataran tinggi Pegunungan,”terangnya.
Bagus Susilo melanjutkan, penurunan penduduk miskin di Papua tergolong lambat bahkan bisa dikategorikan stagnan.
“Angka penduduk miskin tidak bergeser cepat, sebagai pengambil sampe di lapangan, saya juga bingung melihat fenomena tersebut,”tutur Bagas.
Namun, sambungnya, kesulitan masyarakat Papua untuk memenuhi kebutuhan makanan standar, salah satunya akibat kondisi geografis yang sulit.
“Kesulitan geografis menjadi salah satu kendala dalam memenuhi makanan standar, sehingga hal ini menjadi komponen tersendiri,”ungkapnya.
Selain itu, tambahnya, banyak program pemerintah yang tidak jelas dan tidak tepat sasaran. “Kualitas kebijakan publik rendah. Lalu mental, dimana, dulu dana desa belum langsung dikirim ke desa, harus diambil distrik, nah kepala kampungnya saat ambil tapi tidak kembali lagi,”pungkasnya.
Sedangkan apakah gelontorkan dana otonomi khusus mampu menekan angka kemiskinan, Bagas menyatakan, tidak terlalu signifikan.
“Provinsi lain tidak ada dana Otonomi khusus, namun bisa berkembang karena memiliki PAD yang lumayan untuk dikelola.
Papua dana otsus digelontorkan tapi pengentasan kemiskinan terkesan lambat, jadi kurang berpengaruh. Semua tergantung cara kita untuk kelolah anggaran,”tukasnya.
Data BKKBN tahun 2016 jumlah penduduk Provinsi Papua adalah 3,207 juta jiwa. (Ba)