Wamena (KT) – Rencana kunjungan, sebelumnya Ketua MPR-RI, Ketua DPR-RI, Ketua DPD-RI, telah merencanakan akan melakukan kunjungan perjalanan ke Papua dan ke Wamena hendak mengunjungi Pengungsi masyarakat Nduga yang ada di Kabupaten Jayawijaya.
Namun rencana itu tidak jadi, karena pemerintah pusat mendapat laporan sepihak dari Polda Papua yang mengatakan pengungsi di Wamena tidak ada, memang ada tetàpi mereka berbaur di rumah-rumah keluarga masyarakat Nduga yang ada di Wamena.
Sehingga rencana kunjungan itu dibatalkan pada akhirnya tidak jadi melakukan kunjungan ke pengungsi Nduga.
Kunjungan petinggi Negara Rebuplik Insonesia yang datang, pada 2 Maret 2020, ke Kabupaten Jayawijaya, hanya untuk melihat dan memantau langsung Kegiatan Kementrian PUPR, pembangunan Ruko-ruko yang sedang dibangun di Wamena.
Rencana kunjungan resmi yang sudah diangendakan oleh Petinggi Negara sebelumnya hendak menemui pengungsi yang ada di Kabupaten jayawijaya, yang berkobar-kobar di media nasional itu, tidak memberikan harapan yang sesungguhnya bagi pegungsi masyarakat Nduga, dari 31 Distrik yang ada di Kabupaten Jayawijaya.
Theo menilai, sikap Pemimpin Negara Indonesia sangat sedih dan tidak dewasa dalam menyikapi kasus Nduga karena telah menerima laporan sepihak, hanya dari Polda Papua, sehingga rencana kunjungan ke pegungsi telah dibatalkan.
Direktur Eksekutif Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua ( HUMAN RIGHTS DEFENDER ) Theo Hesegem, mempertanyakan kepada Presiden Rebuplik Indonesia Joko Widodo, Bahwa kalau memang masyarakat Nduga bukan bagian dari Indonesia, pemerintah pusat atau Presiden harus jujur mengatakan dan mengakui bahwa masyarakat Nduga bukan bagian dari warga Negara Indonesia.
“Kami menunggu pertanyaan itu ? Sekalipun sulit untuk menjawab, ” Tanya Theo.
Menurut Theo yang memiliki Kartu ARDICARD Human Rights Defender Internasional yang tinggal di Wamena itu mengatakan pemerintah Indonesia telah melakukan pembohongan Publik terhadap masyarakat Nasional dan Internasional, lebih khusus lagi bagi masyarakat pengungsi dari Kabupaten Nduga, sebagai Warga Negaranya.
Karena rencana kunjungan itu telah berkobar-kobar di media masa bahwa DPR-RI, MPR-RI, DPD-RI akan melakukan kunjungan ke pegungsi, namun hal itu tidak dilakukan.
Malahan Pemerintah Indonesia mengunakan standar Pengungsi, bahwa pengungsi harus mengunakan tenda darurat dan tinggal dibawah tenda.
Tetapi kalau tinggal di rumah keluarga menandakan bahwa itu bukan pegungsi, itulah sebabnya Pemerintah Pusat tidak mau mengunjungi pengungsi.
Kata Theo, Pemerintah Indonesia perlu sadar bahwa masyarakat dari 31 Distrik dari Kabupaten Nduga, semuanya mengungsi di daerah orang lain, sejak terjadi operasi Militer pada tanggal 4 Desember 2018.
Menurut Hesegem, pemerintah Pusat mestinya harus bijak melihat kondisi ini, karena dari 31 Distrik yang ada di Nduga, belum ada masyarakat yang ada di sana dan itu disebabkan oleh adanya operasi meliter yang hingga saat ini masih terus berlangsung.
Sehingga banyak masyarakat terpaksa harus keluar ke wilayah Terdekat dengan Kabupaten Nduga, seperti Kabupaten Lany Jaya, Kabupaten Jayawijaya, Kabupaten Timika, Kabupaten Puncak Jaya, Kota Kabupaten Kenyam, Distrik Paroh Kabupaten Nduga.
Menurut Theo, pembatalan bahkan tidak dikunjunginya Pengungsi oleh Pemerintah merupakan satu tindakan penyangkalan Pemerintah Indonesia terhadap masyarakat Nduga sebagai Warga Negaranya.
Oleh sebab itu pemerintah Pusat harus berani mengakui dan jujur mengatakan masyarakat bahwa apakah Nduga bagian dari Indonesia atau bukan bagian dari Masyarakat Indonesia.
Theo menegaskan, sesuai kaca mata kemanusiaan, Pemerintah mempunyai kewajiban untuk perhatikan masyarakat pegungsi asal Kabupaten Nduga.
“Saya melihat selama ini terjadi proses pembiaran terhadap Warga Negaranya. Karena pemerintah tidak pernah melakukan kunjungan dan perhatikan terhadap pengungsi secara resmi sejak ketika operasi berlangsung,” Ungkap Theo.
Menurutnya, saat itu ada Kunjungan yang dilakukan oleh Kementrian Sosial, namun pada saat itu terjadi penolakan, karena sebelum melakukan kunjungan di Lokasi pengungsian, Pihak Kementerian Sosial sudah melakukan pertemuan dengan Kodim 1702 Jayawijaya, terpaksa masyarakat melakukan penolakan.
“Secara budaya perang suku, sangat ketat pengungsi tidak mau menerima bantuan dari tangan musuh. Karena perang sedang berlangsung, ” Ungkap Theo.
Dijelaskan Theo, pada tanggal 23 Februari 2020, pengungsi telah melakukan pertemuan di Gereja Weneroma, bahwa pengungsi akan menerima rencana kunjungan itu dan akan menerima bantuan yang akan diberikan kepada pengungsi. Namun rombongan Ketua DPR-RI, DPD-RI, MPR-RI batal tidak mengunjungi para pengungsi.
Sehingga pada 1 Maret 2020, Theo mengaku, warga masyarakat pengungsi telah sepakat dan akan melakukan beberapa hal diantaranya :
1. Pengungsi tidak akan menerima Bantuan dari Pemerintah pusat, karena terjadi penyangkalan terhadap masyarakat pegungsi Nduga sebagai warga negara Indoneaia, sedangkan pengungsi sudah siap menerima kedatangan petinggi negara Indonesia, yang berkobar-kobar di media.
2. Kami pengungsi telah sepakat, apa bila pegungsi diundang ke Jakarta, untuk melakukan pertemuan disana tidak akan pergi.
3. Menurut kami ada kunjungan atau tidak ada kunjungan tidak akan membawah keuntungan bagi masyarakat pengungsi dan pada umumnya masyarakat Nduga. Oleh sebab itu, Kami akan melakukan acara pengucapan syukur, terkait nama-nama korban yang sudah kami diserahkan kepada Pelapor khusus penembakan kilat dan pelapor khusus pembela Hak Asasi Manusia di Perserikatan Bangsa-Bangsa di Jeneva Swiss, dan data yang kami serahkan kepada Presiden Rebuplik Indonesia melalui Kantor Sekertariat Kepresidenan pada tanggal 17 Januari 2020.
4. Kami akan melakukan Jumpa pers terbuka, terkait kunjungan yang batal dan laporan korban yang sudah kami serahkan ke PBB Perserikatan Bangsa-Bangsa di Jeneva Swiss.
5. Kesempatan itu juga akan melakukan ibadah atau doa untuk pegungsi dan doa untuk masyarakat yang meninggal dan ditembak akibat operasi militer.
6. Pengungsi harus bangkit melalui ibadah-ibadah atau KKR, sehinga masyarakat internasional juga mengetahui, sekalipun ada penyangkalan dari pemerintah Indonesia.
Diakui Theo, kelima hal kegiatan itu akan dilakukan bersama-sama. (NP)