JAYAPURA (KT) – Tim 150 An Papua, yang di promotori Pieter Ell sebagai Koordinator dan Paskalis Kossay selaku Sekrertaris membuat gerakan petisi untuk 7 terdakwa kasus rusuh Papua untuk didorong kepada Pemerintah Pusat.
Adapun isi petisi tersebut :
Menyesalkan penegakan hukum dan HAM di Tanah Papua yang masih diskriminatif terhadap korban dibandingkan dengan pelaku Rasisme Tri Susanti yang hanya dihukum 9 bulan penjara. Menyatakan Protes Keras atas tuntutan hukuman Makar yang tidak sesuai dengan fakta persidangan bagi korban ujaran rasisme Terdakwa Buctar Tabun dan kawan-kawan, Meminta Presiden RI membebaskan Terdakwa Buctar Tabuni dan seluruh Tahanan Politik Papua yang nota bene sebagai korban rasisme berdasarkan kewenangan Presiden yang diatur dalam Peraturan Perundangan yang berlaku, dan mendesak DPR RI, DPD RI, DPR Papua segera membentuk Panitia Khusus Ujaran Rasisme
Terkait dengan Petisi ini, Pieter Ell mengatakan latar belakang hadirnya gerakan petisi tersebut terkait tuntutan hukuman terhadap 7 terdakwa kerusuhan Papua di PN Balikpapan, yang begitu fantastik.
“Jadi kami ada sekitar 150 orang dengan berbagai latar belakang profesi satu hati menyatakan petisi kepada pemerintah pusat,” jelasnya Pieter Ell selaku koordinator tim
Menyoal tentang tingginya tuntutan hukum tersebut, Pieter Ell menyebut proses tersebut harus di hargai, karena dalam penuntutnan apalagi kasus yang menjadi sorotan public seperti makar ada tahapannya. “ Ada tiga tahapan yang kesemuanya harus di koordinasikan dengan Kejagung, sehingga saya pikir Kejaksanaan Papua hanya jalankan perintah dari Kejagung, dan semua proses ini ketat. Itu sudah biasa, pasti kejagung yang akan menentukan,” jelasnya.
Pieter Ell sendiri mengaku bukanlah kuasa hukum yang menangani perkara 7 terdakwa tersebut, namun dari hasil komunikasi dengan rekan pengaca, ternyata banyak fakta persidangan yang tidak sesuai dengan kualifikasi daripada fakta itu sendiri.
“ Dan ancaman hukum yang dituntut sangat fantastic, sehingga inilah yang mengherankan,” kata Pieter yang juga berharap dukungan dengan satu hati satu pikiran untuk memberikan perlindungan hukum dan hak-hak terdakwa secara benar menurut hukum.
Terkait dengan pasal makar sendiri, Pieter Ell menjelaskan pasal 106-110 KUHP mengatur tentang makar. Selama 20 tahun setelah revormasi, pasal-pasal inilah yang digunakan membungkam aktifis yang menyuarakan aspirasi dari masyarakat Papua soal ketidakadilan, kesenjangan dan pelanggaran HAM dan lainnya.
“Jadi itu pasal keramat yang selama ini digunakan untuk bungkam aspirasi di masyarakat,” katanya.
Lanjutnya, selama ini proses hukum terhadap pelaku yang dibelenggu dengan pasal makar tersebut, tidak berujung pada penyelesaian soal. Artinya, kata Pieter, akar persoalannya adalah soal penyelesaian pelanggaran HAM Papua yang selama ini baru diselesaikan 1 kasus saja, yakni kasus Abepura.
Padahal sebelum tahun 2000 ada banyak kasus pelanggaran HAM yang terjadi sejak integrasi Papua ke NKRI, demikian juga setelah revormasi seperti kasus Paniai berdarah.
“Nah ketika ada aspirasi yang menyuaran untuk penyelesaian HAM maka dibungkamlah dengan pasal Makar, inilah seperti yang terjadi terhadap 7 tahanan ini, yang saat itu mereka menyuarakan itu mereka sebagai korban malah belakangan menjadi pelaku,” jelasnya menambahkan hal inilah yang menjadi salah satu factor 150 An Papua mendorong pentisi tersebut kepada pemerintah pusat.
Sehingga, dengan adanya kasus 7 tahanan Papua ini, lanjut Pieter, menjadi momentum, bagaimana pemerintah pusat untuk tidak melihat persoalan Papua dengan sebelah mata. bahwa, UU Otsus pasal 45-47 jelas tentang penyelesaikan pelanggaran HAM, maka buatlah peradilan hukum HAM di Papua, atau komisi kebenaran dan rekonsiliasi untuk selesaikan kasus yang terjadi di Papua.
“Jadi semua ini ada saluran yang bisa menyelesaikan, tak hanya dengan pasal makar saja,karena itu bukan jaminan. karena satu masalah selesai maka akan timbul masalah lain. Sehingga saya kembali mengusulkan kepada pemerintah pusat bentuklah badan-badan itu untuk selesaikan persoalan yang muncul di Tanah Papua,” jelasnya.
Sekedar diketahui, 7 Tahanan yang merupakan terdakwa kerusuhan Papua di tuntut masing-masing,
Bucthar Tabuni tuntutan 17 Tahun, Agus Kossay 15 Tahun, Steven Itlay 15 Tahun, Alekxande Gobay 10 Tahun, Fery Gombo 10 tahun, Irwanus uropmabin 5 Tahun dan Hengky Hilapok 5 tahun. (TA)