Kapolda : 7 Terdakwa Makar Bermufakat, Rapat dan Memimpin Demonstrasi Melawan Negara

Kapolda Papua, Irjen Pol Paulus Waterpau

JAYAPURA (KT) – Kapolda Papua, Irjen Pol Paulus Waterpau akhirnya membuka peran 7 terdakwa makar, yang saat ini tengah menunggu putusan PN Balikpapan. Mereka ternyata sebagai ‘biang’ atas rentetan kerusuhan yang terjadi di beberapa wilayah di Papua pasca kejadian di Surabaya.

Kapolda tegas menyampaikan upaya signifikan pada 18 Agustus 2019 yakni rapat, pertemuan, permufakatan pasca kejadian di Surabaya 16-17 Agustus 2019. Yang selanjutnya terjadi di unjuk rasa mulai tanggal 19 Agustus di Papua Barat, 21 Agustus di Mimika, 29 Agustus di Jayapura dengan menurunkan Merah Putih dan naikkan Bintang Kejora dan terkahir 23 septermber unjuk rasa anarkis bersamaan di Jayapura dan Wamena.

“Ini tidak bisa hanya dikatakan gerakan, itu upaya yang sudah diatur sedemikian rupa , oleh mereka yang sudah kita tangkap dan tahan dan sekarang mereka di Balikpapan dan beberapa pihak lain yang masih dijadikan DPO,” kata Kapolda Papua saat memaparkan cerita singkat tentang rentetan kejadian Agustus 2019 silam saat Thematic Discussion Groub The Spirit Of Papua yang berlangsung di Hotel Aston, Senin (15/6/2020).

Kata Kapolda, persoalan ungkapan monyet sebagai rasis itu betul menyinggung kita sebagai warga masyarkat Papua, tapi itulah yang digunakan sebagai triger oleh mereka, untuk melakukan sejumlah upaya-upaya dengan tujuan melawan negara. “ Mereka itu ada unsur-unsurnya. Bermufakat, Rapat dulu, kemudian memimpin demonstrasi dengan tujuan melawan negara,” tegas Kapolda.

Jika hari ini banyak yang bicara soal tersangka, dakwaan yang mereka terima, lantas lupa dengan korban akibat kerusuhan itu.
Bagaimana eksodus masyarakat yang ketakutan, hiruk-pikuk masyarakat yang minta ditolong, bahkan ada satu keluarga dibantai satu rumah dan dibakar, korban terus menjerit, dan menangis.

“Tapi hari ini banyak orang hanya bicara tersangka, hanya dimuara saja, tidak bicara dihilir persoalan. kita harus jujur ditanah ini, bicara apa adanya. kalau bicara tersangka, kita juga bicara korban, itu baru ada solusi. Saya katakan, harus ada keseimbangan melihat ini,” tegas Kapolda

Lanjut Kapolda, Aparat hukum tugasnya menggodok itu semua, selanjutnya Kejaksaan dan Pengadilan melanjutnya sebagaimana bukti. Lantas timbul banyak pertanyaan?
kenapa rasisme ini menjadi makar? Kapolda mengatakan, ada pasal dakwaan yang dianggap berbeda antara pelaku Surabaya di Papua.

Bahwa Kepolisian menggunakan dakwaan gabungan tindak pidana. Sehingga jangan dianggap Polisi mendakwa 7 orang itu sebagai pelaku makar saja. Ada sejumlah pasal yang didakwakan, mulai 110, 160,170, 106 KUHP dan jo 55 dan 56, kesemuanya terungkap kemarin dipersidangan.

“Dan kenapa semua dakwaan lebih kepada pasal 106 KUHP? karena muaranya ke situ. Perlawanan melawan negara. Ada alat bukti, petunjuk, saksi yang mendukung semua itu ada dan sedang diuji saat ini,” kata Kapolda

Fakta lain yang diungkap Kapolda, pada 15 Agustus 2019 saat ia bertemu dengan anak-anak mahasiwa di Malang, mereka mengakui saat mereka tiba, mereka di dogma oleh kelompok aliansi ini. “Bagus diawal bapa, tapi ujungnya memerintahkan kita agar ikuti maunya mereka untuk melawan negara,” ungkap kapolda

Sehingga, lanjut Kapolda, jika ditanyakan apa relevansinya tentang makar dan rasisme. Bahw ada perbuatan melawan hukum yang ujungnya melawan negara.

“Ujungnya ingin memisahkan diri dari negara kesatuan NKRI,” kata Kapolda sembari memperlihatkan video saat bendera merah putih di turunkan dan digantikan Bintang Kejora.

Tersangka lain yang terlibat dalam kerusuhan yakni pengrusakan, pembakaran, penganiayaan, kata Kapolda sudah di proses. Ada beberapa orang yang tidak bisa dibuktikan penyidik, itu sudah dibebaskan, ada juga yang sudah menjalani masa tahanannya. “Tapi actor dari semua ini, adalah mereka yang ada di Kalimantan timur,” jelas Kapolda.

“Jadi jangan bicara di muara saja, tapi hulu masalah ada sebagian anak-anak kita yang terdoktrinisasi oleh pihak lain yang menyatakan lawanlah negara, dan buktinya cukup,” akunya.

Kembali menyinggung soal proses persidangan ke 7 terdakwa yang di lakukan di Luar Papua, Kapolda menyebut sudah ada pengalaman dan bahkan praduga itu mulai terlihat.

Tahun 2005 saat Sidang Makar Yusak Pakage rusuh saat berlangsung di PN Jayapura. Kepolisian, kata Kapolda, tidak mau Papua terus menerus menjadi titik sentra kekerasan, sehingga demi keamanan dan kenyamanan kita alihan ke Balikpapan.

“Dan praduga itu sudah bisa kita lihat saat ini, bayangkan kalau mereka ada disini, sidang-sidang itu pasti berantakan, masyarakat tuntut bebaskan 7 orang ini seolah itu persoalan politik,” tegas Kapolda.

Pada kesempatan tersebut, Kapolda beharap kepada pimpinan dan tokoh-tokoh termasuk pemimpinan keagamaan, ketika ada masalah seperti itu, mohon turun bersama ke lapanga, bicara dan tengani semuanya.

“Jangan diam, setelah dimuara baru bicara dan tidak pernah ajak bicara dengan kami yang dihulu ini. Kita semua anak Papua Asli, kita bicara, tangani persoalan, eliminir bersama, jangan nanti sampai muara bilang polisi tidak beres,” tegas Kapolda.

Kapolda juga menyinggung adanya pemetaan konflik dengan bahasa yang kurang santun di media sosil. Kata Kapolda, lebih baik aksi tersebut dihentikan, agar tidak ada tindakan hukum. “ Lebih baik stop, kalau kita lakukan penindakan dengan UU ITE nanti dibilang Polisi sombong, kaka jahat lagi, padahal semua ada aturannya, ini negara hukum, kalau kami tidak lakukan itu nanti dibilang tidur, jadi tolong pahami, kalaua ada hal-hal yang kurang baik mari kita duduk dan bicara,” jelas Kapolda. (TA)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *