Korban Pelanggaran HAM Kasus Pembobolan Gudang Senjata Tahun 2003 Tolak Penyelesaian Non Yudisial

Direktur Eksekutif Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua Bersama Korban Saat Menggelar Jumpa Pers

Wamena (KT) – Korban dan keluarga korban Kasus Pembobolan Gudang Senjata di Kodim 1702 Jayawijaya pada 4 April 2003 menolak upaya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) untuk menyelesaikan kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) Non Yudisial.

Korban Kasus 4 April 2003, Linus Hiluka yang mewakili keluarga Korban kasus yang sama Menyebutkan, dirinya dalam kasus ini sebagai korban dan mewakili keluarga korban pada kasus 4 April 2003 terkait Pembobolan Gudang Senjata di Kodim 1702 Jayawijaya.

“Saya sebagai Korban dan keluarga korban saya mau sampaikan begini pada hari ini genapnya 20 tahun kasus Kodim 1702 Jayawijaya, mau sampaikan dari keluarga Koban dan Korban pada prinsipnya korban dan keluarga korban menolak penyelesaian kasus pelanggaran HAM secara Non Yudisial dari Pemerintah Republik Indonesia,” ungkap Linus Hiluka di Wamena, Selasa (4/4/2023).

Menurutnya, kasus pelanggaran HAM yang diagendakan oleh Pemerintah Indonesia untuk diselesaikan secara Non Yudisial ini pelakunya siapa, korbannya siapa, sehingga harus dipikirkan dengan akal sehat.
Melihat hal itu, pihak korban dan keluarga korban meminta dan mendesak kepada Negara NKRI dalam hal ini Bapak Presiden Ir, Joko Widodo untuk mengundang dan mengijinkan Komisioner Tinggi HAM PBB bisa masuk dan memediasi penyelesaian pelanggaran HAM yang terjadi.

“PBB sudah ada Komisi itu, kenapa kita sibuk begitu, ini korban yang minta, makanya kami minta dan mendesak kepada Negara ini harus sampaikan ke Komisioner HAM PBB,” ungkap Linus Hiluka.

Menurut Linus Hiluka, percuma Negara NKRI membentuk perpanjangan tangan dengan membuat Tim dan pembentukan Kepres dalam rangka menyelesaikan persoalan pelanggaran HAM, karena pada dasarnya Korban tetap menolak namun menginginkan adanya penyelesaian yang dilakukan oleh Komisioner Tinggi HAM PBB.

Linus meminta dengan tegas kepada Tim Pelanggaran HAM yang dibentuk NKRI untuk dapat berkoordinasi dengan Bapak Theo Hesegem, sebelum bertemu langsung dengan Korban maupun keluarga Korban.

“Keluarga Korban sudah percayakan Bapak Theo Hesegem dan saya sebagai Koordinator, jadi Tim NKRI harus hubungi Theo Hesegem dulu baru kami bisa bertemu supaya masalah ini terarah,” ungkap Linus Hiluka.

Pada kasus Pembobolan Gudang Senjata di Kodim 1702 Jayawijaya, dirinya bersama korban yang lain sudah menjalankan hukuman di Lembaga Pemasyarakatan ABE, namun sampai saat ini Korban dan Keluarga Korban belum mendapatkan SK Pembebasan Resmi.

“Jangan atas nama bicara itu hati- hati pak Matius Murib, kalau mau pak Mafud tanya kami to alat canggih kok, SK itu dia pencuri saya bisa gugat hukum, SK itu keluarnya tanggal 5 Mei tahun 2015. Sekarang sudah 8 tahun. Saya juga pernah kirim orang dan Saya sendiri ke sana tetapi kenapa dia Lari-lari. Sehingga sk itu sampai sekarang tidak ada di tangan kami.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua, Theo Hesegem, yang juga sebagai Aktivis Pembela HAM di Wilayah Papua Pegunungan menyebutkan, sebenarnya maksud pemerintah itu baik untuk bagaimana penyelesaian kasus selama ini menjadi disahkan internasional. Sehingga itu solusi yang sudah dicarikan sudah dijawab oleh pemerintah dalam bentuk Judicial maupun non Judicial.

Tapi kalau kita lihat kembali itu sebenarnya, penyelesaian itu hak ada pada keluarga korban sekalian saksi, sehingga apapun yang sudah disampaikan oleh pak linus itu juga menjadi perhatian serius oleh pemerintah pusat.

Jadi, tidak terkesan terabaikan apapun yang dilakukan oleh pemerintah maupun suara korban itu perlu didengar, perlu dijawab dan perlu direkomendasikan oleh pemerintah Indonesia sehingga ada solusi yang terbaik untuk melakukan penyelesaian itu.

“Persoalan di Papua inikan tidak sama dengan daerah lain, karena di papua itu lebih kental dengan persoalan politik. Penyelesaian antara pihak korban dengan pemerintah di negara Indonesia ini mereka tidak puas sehingga penyelesaian tidak adil. Saya pikir Indonesia open saja untuk pihak PBB bagian HAM bisa datang untuk melihat persoalan ini, tetapi kalau Indonesia mau datang silahkan saja, yang penting ketemu keluarga,” ungkap Theo Hesegem

Dijelaskan, pada Tahun yang lalu keluarga Korban dan Korban menolak dengan surat pernyataan sikap penolakan secara resmi dalam forum terbuka, selain itu sampai saat ini kami tidak tahu perkembangan itu sudah sejauh mana, kita belum pernah mendapat respon dan juga setelah kita lakukan tahun lalu hasilnya seperti apa itu kami belum tahu dan keluarga korban juga belum mengetahui hasilnya.

“Belum ada hasil lalu diperpanjang lalu Kepresnya sehingga proses penyelesaian seperti apa nanti. Kalau kepres itu sudah dibuat harus sampaikan kepada keluarga. Karena Kepresnya itu penyelesaian seperti apa, berakhirnya dimana itu harus sampaikan kepada keluarga, mereka bukan hanya menjadi buruan tawaran tetapi mereka harus sampaikan kepada keluarga korban,” ungkap Theo Hesegem.(NP)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *