Nabire, (KT)– Pilkada di Tanah Papua menghadapi tantangan besar terkait efektivitas dan integritas pemilihan langsung. John NR Gobai mengajukan pemikiran untuk mengembalikan pemilihan kepala daerah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) dan DPRD Kabupaten/Kota (DPRK), menggantikan sistem pemilihan langsung yang dinilai tidak efektif.
Dalam diskusi mengenai politik dan pemilihan kepala daerah di Papua, banyak cerita yang menunjukkan betapa tingginya biaya politik yang diperlukan untuk maju dalam Pilkada. “Kami membuat 16 kursi di DPR Papua, tetapi untuk maju harus tetap membayar administrasi ke Jakarta, nilainya bukan kecil,” ungkap Almarhum Lukas Enembe. Sementara itu, seorang calon kepala daerah juga mengungkapkan betapa sulitnya mencari dana untuk membayar partai politik, dengan harga dasar mencapai ratusan juta hingga miliaran rupiah per kursi. Hal ini memicu pertanyaan besar: Dari mana sumber uang ini?
Politik uang telah lama menjadi bagian dari proses pemilihan di Papua, yang sering kali memicu korupsi dan praktik tidak etis. Banyak politisi yang mencari dana besar terjebak dalam jaringan korupsi dan memberikan konsesi yang tidak bermanfaat bagi publik hanya untuk mendapatkan dukungan finansial.
Pilkada sering kali dianggap sebagai investasi bagi kontraktor dan Aparatur Sipil Negara (ASN). Kandidat yang didukung dapat memberikan kompensasi kepada kontraktor melalui proyek dari APBD, sedangkan ASN yang menyumbang sering kali mendapatkan jabatan strategis. Hal ini juga menghambat afirmasi ASN OAP, sebagaimana diatur dalam UU Otsus Papua.
Saat pembahasan revisi UU Otsus Papua pada tahun 2021, DPR Papua mengusulkan agar Pilkada dilakukan melalui DPRD, yaitu pemilihan tidak langsung. Menurut para anggota DPR Papua, pemilihan langsung sudah waktunya dievaluasi. Beberapa alasan termasuk ketidaknetralan ASN, konflik berkepanjangan, biaya tinggi yang menguras APBD, dan praktik money politik yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi.
Pemerintah pernah mempertimbangkan sistem pilkada asimetris, yang memungkinkan adanya perbedaan mekanisme pemilihan kepala daerah antara daerah. Contohnya, Aceh dan Yogyakarta menerapkan sistem pilkada yang berbeda dari daerah lain. KPU juga mengusulkan agar beberapa kabupaten di Papua mempertimbangkan sistem pilkada yang tidak langsung untuk menghindari konflik dan kekacauan.
Mantan Ketua MK Mahfud MD mengungkapkan bahwa banyak kecurangan terjadi dalam pilkada langsung, dan Ketua Komite I DPD RI Teras Narang menilai bahwa sistem pilkada dapat diubah baik langsung atau kembali ke DPRD tergantung pada situasi dan biaya.
Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun juga menilai bahwa pilkada asimetris perlu dievaluasi lebih lanjut, terutama di daerah dengan sistem noken seperti Papua. Hal ini menunjukkan bahwa penerapan sistem pilkada yang sesuai dengan karakteristik lokal sangat penting.
Mengembalikan pelaksanaan Pilkada kepada DPRP dan DPRK sebagai bagian dari sistem asimetris di Tanah Papua perlu diatur kembali melalui revisi UU Otsus Papua. Hal ini sejalan dengan Pasal 7 ayat 1 huruf a UU No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, yang memberikan wewenang kepada DPRP untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur. Dengan penambahan pasal terkait tugas dan wewenang DPRK, diharapkan pemilihan kepala daerah di Tanah Papua dapat dilakukan secara lebih efektif dan berintegritas.