Timika, (KT) – Tanah Papua memiliki banyak tempat ibadah dan lokasi bersejarah yang sangat penting bagi agama tertentu, namun sering kali dilupakan atau bahkan dibongkar. Padahal, jika tempat-tempat tersebut telah berusia lebih dari 50 tahun, sesuai dengan Undang-Undang Cagar Budaya, mereka layak untuk didaftarkan, diverifikasi, dan ditetapkan sebagai situs bersejarah. Selain itu, tempat-tempat tersebut berpotensi menjadi destinasi wisata religi yang dapat memberikan manfaat bagi masyarakat dan daerah.
Wisata religi adalah salah satu jenis wisata yang erat kaitannya dengan aktivitas dan lokasi yang memiliki nilai spiritual atau keagamaan. Di Indonesia, tempat-tempat yang termasuk dalam wisata religi meliputi makam, masjid, gereja, wihara, dan klenteng. Di Jawa, misalnya, masyarakat memiliki tradisi berziarah ke makam tokoh-tokoh penting atau tempat yang dianggap suci, seperti makam wali dan pemimpin spiritual yang dihormati.
Dasar Hukum untuk Pelestarian Situs Religi
Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa negara memiliki tanggung jawab untuk memajukan kebudayaan nasional, termasuk menjaga kebebasan masyarakat dalam melestarikan dan mengembangkan nilai-nilai budaya.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya juga memberikan landasan hukum terkait pelestarian warisan budaya, termasuk situs-situs yang memiliki nilai sejarah, pendidikan, agama, dan budaya. Situs-situs tersebut harus didaftarkan, diverifikasi, dan dilestarikan melalui proses yang melibatkan dinas terkait, tim ahli cagar budaya, dan institusi-institusi seperti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB).
Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2022 tentang Register Nasional dan Pelestarian Cagar Budaya menyebutkan bahwa situs cagar budaya merupakan lokasi di darat atau di air yang mengandung benda, bangunan, atau struktur bersejarah yang memiliki nilai penting sebagai hasil kegiatan manusia atau bukti peristiwa dari masa lalu.
Potensi Situs Religi di Papua
Di Papua, banyak tempat ibadah yang telah berusia lebih dari 50 tahun, seperti gereja-gereja dan masjid-masjid tua. Contohnya, di Kota Jayapura terdapat gereja-gereja tua yang merupakan bagian dari sejarah awal penyebaran agama Kristen. Begitu pula di Pulau Mansinam, Manokwari; Pulau Bonyum, Fakfak; Masjid tua di Kaimana; dan Bukit Aitumeri di Wondama, yang semuanya memiliki nilai historis dan spiritual yang tinggi.
Sesuai dengan UU No. 11 Tahun 2010, kriteria penetapan cagar budaya meliputi bangunan atau benda yang berusia 50 tahun atau lebih dan mewakili masa atau gaya arsitektur tertentu yang juga berusia minimal 50 tahun. Tempat-tempat ini perlu segera didaftarkan dan diverifikasi melalui instansi terkait, termasuk Dinas Pariwisata dan Tim Ahli Cagar Budaya.
Langkah Selanjutnya untuk Pelestarian
Pemerintah daerah harus segera mengambil inisiatif untuk melakukan pendataan dan registrasi tempat-tempat ibadah dan situs bersejarah di Papua. Pendataan ini penting untuk memastikan bahwa warisan budaya tersebut dilindungi dan dapat diusulkan menjadi bagian dari Register Nasional Cagar Budaya. Proses ini akan melibatkan kerjasama dengan para ahli dan institusi yang berwenang.
Penutup
Tempat-tempat ibadah dan situs-situs sejarah di Papua, termasuk lokasi penyebaran Injil, merupakan aset wisata yang sangat berharga. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah daerah untuk memulai proses pendataan dan pelestarian, agar tempat-tempat ini dapat dijadikan sebagai situs wisata religi yang mendukung perkembangan pariwisata dan perekonomian daerah.
Pelestarian situs-situs ini bukan hanya soal menjaga warisan masa lalu, tetapi juga soal membuka peluang bagi wisata religi yang akan mendatangkan manfaat bagi masyarakat Papua dan Indonesia secara umum.