JAYAPURA, (KT)– Willem Sroyer, warga Kota Jayapura, melaporkan dugaan pencemaran nama baik yang dilakukan oleh Calon Gubernur Papua nomor urut 1, Benhur Tomi Mano (BTM), ke Kepolisian Daerah (Polda) Papua pada 4 November 2024. Laporan ini menyertakan barang bukti terkait pernyataan BTM dalam kampanyenya di Perumahan Organda, Padangbulan, yang diduga menyebutkan nama Willem secara tidak pantas. Selain melaporkan ke Polda Papua, Willem juga telah mengadukan peristiwa tersebut ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Papua pada 12 Oktober 2024.
Dalam konferensi pers di Abepura pada Sabtu, 9 November 2024, Willem yang didampingi Ketua Suku Besar Keret Sroyer, Moses Sroyer, serta tokoh-tokoh adat lainnya, menyatakan bahwa pernyataan BTM dalam kampanye telah mencemarkan nama baiknya. “Saya merasa nama saya disinggung secara tidak benar, sehingga saya perlu melakukan klarifikasi dan mengambil tindakan hukum,” tegas Willem.
Moses Sroyer, selaku Ketua Suku Besar Keret Sroyer, turut mendesak BTM untuk meminta maaf secara langsung kepada keluarga besar Sroyer sesuai adat. Menurut Moses, permintaan maaf yang disampaikan BTM melalui media tidak cukup, karena tidak dilakukan langsung kepada pihak yang merasa dirugikan. “Permintaan maaf semestinya dilakukan dengan bertemu langsung, sebagai bentuk penghormatan dan penyelesaian yang sesuai adat Papua,” jelas Moses.
Willem Sroyer menegaskan bahwa upaya hukum yang ditempuh bukan sekadar laporan biasa, melainkan disertai bukti-bukti yang mendukung dugaan pencemaran nama baik. “Kami tidak main-main, semua bukti sudah diserahkan ke Polda Papua,” ungkapnya. Willem juga menyebutkan bahwa meskipun BTM telah berulang kali mengajaknya untuk bertemu, ia memilih tidak datang karena merasa direndahkan.
Permasalahan ini telah menjadi perhatian publik, dan para tokoh adat dari Suku Biak di Tanah Tabi dan Jayapura menegaskan pentingnya penyelesaian secara adat. Winand Yeninar, Sekretaris Dewan Adat Biak di Tanah Tabi, menyatakan bahwa BTM harus datang meminta maaf kepada Willem dan keluarga besar Sroyer, sebagai bentuk penghormatan terhadap adat dan budaya orang Biak. “Kalimat yang menyebut ‘Sroyer ko siapa?’ telah menyinggung kami secara adat, dan hal ini harus diselesaikan sesuai hukum adat,” tegas Winand.
Menurut Didedrik Kbarek, Sekretaris Dewan Adat Biak di Kota Jayapura, setiap suku memiliki strata adat yang harus dihormati. “Penyelesaian permasalahan harus dilakukan dengan saling menghormati dan mematuhi hukum adat, serta menjaga etika berbudaya,” ungkapnya.
Didedrik juga menegaskan bahwa masyarakat Biak telah memberikan kontribusi di berbagai wilayah, termasuk di Kota Jayapura, dan penyelesaian masalah ini harus dilakukan dengan jiwa besar dan rasa saling menghargai. “Kami mendesak agar BTM menyelesaikan masalah ini demi memulihkan nama baik saudara Willem Sroyer dan keluarga besar Suku Biak,” katanya.
Keluarga besar Sroyer berharap agar masalah ini segera diselesaikan baik melalui hukum formal maupun adat, demi menjaga keharmonisan dan menghormati nilai-nilai budaya di Tanah Papua.