Wamena (KT) – Kenaikan Harga BBM di Seluruh Indonesia menjadi perbincangan masyarakat di seluruh penjuru Indonesia, begitu halnya dengan masyarakat yang ada di Kabupaten Jayawijaya dan juga Wilayah Lapago.
Menyikapi hal kenaikan harga BBM di seluruh Indonesia termasuk Papua dan khususnya di Wilayah Lapago, Aliansi Mahasiswa dan OKP Se-Lapagi ikut menyuarakannya dengan mendatangi kantor DPRD Kabupaten Jayawijaya dan menyuarakannya melalui kajian untuk bisa menjadi perhatian publik dan khususnya Pemerintah.
Dalam kajian itu, di paparkan bahwa pada beberapa waktu lalu, dampak Invasi Rusia terhadap Ukraina membuat tren harga minyak dunia terus meningkat. Mencermati perkembangan terkini, harga minyak mentah Indonesia atau Indonesian Crude Price (ICP) masih akan terus naik hingga mencapai US$105/barel pada akhir tahun, lebih tinggi dari asumsi makro yaitu US$100/barel.

Kondisi tersebut diperparah oleh kurs rupiah yang mengalami depresiasi terhadap dollar AS. Nilai tukar dolar AS terhadap rupiah berada di angka Rp14.700, lebih tinggi dari asumsi sebesar Rp14.450. Kenaikan harga minyak dunia ini tentu mempengaruhi APBN khususnya pada beban subsidi BBM yang kemungkinan meningkat melebihi asumsi APBN 2022.
Pada tanggal 1 April 2022, pemerintah melalui PT Pertamina (Persero) telah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertamax menjadi Rp 12.500 per liter.3 Bahkan di Wilayah Lapago Kabupaten Tolikara, Papua harga bbm di eceran saat belum mengalami kenaikkan, di kisaran harga Rp.50.000 – Rp.150.000 Per liter yang di beli dari Kabupaten Jayawijaya.
Hal tersebut menimbulkan banyak gejolak penolakan dari masyarakat. Pemerintah dinilai tidak tepat dalam mengambil keputusan menaikkan harga BBM jenis pertamax ini. Harusnya pemerintah dapat menahan kenaikan dengan menambah dana kompensasi dari APBN. Apalagi dimasa pandemi covid-19 yang belum sepenuhnya pulih, ditambah lagi dalam beberapa bulan terakhir harga-harga kebutuhan pokok terlebih dulu mengalami kenaikan.
BBM menjadi salah satu komoditas sumber daya alam strategis tidak terbarukan yang vital dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Minyak dan gas bumi mempunyai peranan penting dalam perekonomian nasional. Sehingga pengelolaan minyak dan gas bumi harus dapat secara maksimal memberikan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.
Pemerintah berdalih menargetkan pertamax menyasar pada masyarakat kelas menengah ke atas, namun pada faktanya kenaikan harga pertamax membuat banyaknya masyarakat menengah ke atas beralih yang semula menggunakan pertamax kemudian menggunakan pertalite. Padahal pengguna BBM jenis pertalite sendiri mengalami kenaikan rata-rata 36,1%. Adapun, kenaikan tertinggi mencapai 46% pada saat H-! lebaran 2022.
Terlebih lagi, setelah harga BBM jenis pertamax sah di naikan, pemerintah tidak menyiapkan solusi yang efektif untuk menanggulangi melonjaknya penyaluran pengguna BBM bersubsidi yang masih banyak tidak tepat sasaran di lapangan. BBM bersubsidi justru banyak digunakan oleh golongan menengah ke atas. Berdasarkan data PT Pertamina Patra Niaga, sebanyak 60% golongan masyarakat mampu telah menikmati hampir 80% dari total BBM _bersubsidi. Sementara itu, 40% masyarakat golongan bawah yang seharusnya berhak justru hanya menikmati sekitar 20% dari total BBM bersubsidi. Sedangkan, data Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) mencatat hingga Agustus, konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Pertalite sudah mendekati 80%. Selain itu BUMN dan perusahaan-perusahaan besar lainnya masih menggunakan energi fosil, batubara, diesel, hingga solar.
Sejalan aktivitas ekonomi yang makin pulih dan mobilitas yang meningkat, pada akhinya kuota volume BBM bersubsidi yang dianggarkan dalam APBN 2022 diperkirakan akan habis pada Oktober 2022. Padahal Menurut direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira, saat harga minyak dunia turun di kisaran 20 dolar AS per barel pada tahun 2020, pemerintah tidak menurunkan harga pertamax. Artinya pertamina tercatat sudah membukukan untung sebesar Rp 15,3 triliun pada periode yang sama.
Pada akhirnya Efek domino dari kenaikan BBM jenis pertamax bisa di lihat sekarang. Presiden Jokowi beberapa kali menyinggung soal beban subsidi yang semakin berat, memunculkan banyak pertanyaan akankah harga BBM akan naik? Setelah BBM jenis pertamax dinaikan menyebabkan pengguna BBM jenis pertalite semakin meningkat.
Sampai pada Juli 2022 konsumsi Pertalite sebagai Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP) sudah mencapai 16,8 juta kilo liter (KL). Dengan begitu, kuota hingga akhir tahun hanya tersisa sebanyak 6,2 juta KL saja, dari kuota yang ditetapkan sebesar 23 juta KL sampai akhir tahun. Sementara itu, konsumsi Solar Subsidi sebagai Jenis BBM Tertentu (JBT) sudah mencapai angka 9,9 juta KL dari kuota 14,91 juta di tahun 2022 ini atau tersisa 5,01 juta KL.
Sekarang dari pihak pemerintah sedang melakukan kajian mengenai penyesuaian harga BBM Pertalite dan Solar Subsidi, karena menurut Menteri keuangan Sri Mulyani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang kian jebol, Adapun total subsidi anggaran semula yang ditetapkan oleh pemerintah hanya sebesar Rp 152,1 triliun telah di kompensasi 3x lipat hingga Rp 502,4 triliun.
Kebutuhan Masyarakat Menjadi Perioritas dan Untuk Menurunkan Harga BBM, Pemerintah Harus Melakukan Apa ??
Presiden Joko Widodo dikabarkan akan mengumumkan kepastikan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) Subsidi, yaitu Pertalite dan Solar pada minggu ini. Hal tersebut diungkapkan Menteri Koordinator Bidang Investasi dan Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan pada Jumat (19/8/2022). Lalu, Presiden Jokowi memang sudah beberapa_ kali mengungkapkan bahwa pemerintah sudah cukup besar memberikan subsidi BBM. Jokowi mengakui beratnya dana yang dikeluarkan untuk subsidi sektor energi pada saat Rapat Kerja PDI Perjuangan pada 21 Juni 2022. Saat itu, Jokowi menyebut bahwa jumlah subsidi energi yang besar itu bisa membangun satu Ibu Kota Negara (IKN) baru.
Dalam Amanah UUD Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 27 ayat (2) dengan jelas menyatakan “Bahwa setiap Warga Negara Indonesia berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Sehingga memang pemerintah wajib memberikan subsidi kepada rakyatnya, khususnya terkait kebutuhan hidup rakyat, salah satunya yakni subsidi BBM yang menjadi penompang vital dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Karena sejatinya tugas pemerintah adalah untuk mensejahterahkan rakyat, bukannya mengeluh kepada rakyat apalagi mengorbankan rakyat.
Sebenarnya, sepanjang Januari hingga Juli 2022, berdasarkan data APBN serapan subsidi energi baru sejumlah Rp88,7 triliun dan APBN sedang surplus Rp106,1 tiliun atau 0,57% dari PDB diperiode Juli. Itu artinya, pemerintah juga menikmati kenaikan harga minyak mentah untuk dorong penerimaan negara.
Lalu pertanyaannya kenapa pemerintah tidak menggunakan surplus menjadi prioritas untuk menambal subsidi energi? malah mengeluh pada rakyat dengan memberikan solusi menaikan harga BBM _ bersubsidi untuk menjaga keseimbangan inflasi.
Pemerintah perlu melakukan revisi aturan untuk menghentikan kebocoran BBM bersubsidi agar sesuai sasaran, bukannya dinikmati oleh industri skala besar, seperti pertambangan, perkebunan besar. Atau menunda lanju untuk infrastruktur yang tidak terlalu menjadi prioritas. Pemerintah harus lebih memprioritaskan penanggulangan kemiskinan yang ekstrem, pemulihan dunia usaha, penanganan pengangguran, pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM), ketimbang memaksakan untuk melanjutkan pembangunan infrastruktur salah satunya Ibu Kota Negara (IKN) baru.
Dengan menutup kebocoran tersebut pemerintah dapat menghemat pengeluaran subsidi. Bukannya mengeluh dan mengorbankan ekonomi rakyat dengan memberikan solusi yang kurang efektif untuk menanggulangi kenaikan harga BBM. Kenyataannya pemerintah hanya memberikan solusi dengan menyiapkan anggaran dana bansos sebanyak Rp 18 triliun sebagai bantalan sosial dan ditargetkan untuk masyarakat kalangan bawah dan kemungkinan akan terus bertambah untuk menjaga kebutuhan masyarakat terjaga. Namun fakta di lapangan, dana bansos kerap kali tidak tepat sasaran seperti alokasi penyaluran BBM subsidi, banyak dari masyarakat kelas menengah ke atas mendapatkan bansos dari pemerintah.
Solusi pemerintah untuk menaikan harga BBM bukan hal yang tepat, jika dilihat dari kondisi masyarakat saat ini, apakah sudah siap menghadapi kenaikan harga BBM? Ditambah setelah inflasi bahan pangan yang hampir menyentuh 11% secara tahunan per Juli 2022. Setelah kenaikan harga BBM jenis pertamax. Tak hanya masyarakat miskin, imbas jika BBM mengalami kenaikan menyebabkan kelas menengah rentan terdampak dan menurunkan daya beli masyarakat.
Kemudian, jika BBM subsidi di naikan, akan menyebabkan inflasi yang bisa saja menembus angka yang sangat tinggi dan serapan tenaga kerja menjadi terganggu, berdampak pada banyaknya PHK akibat kenaikan harga barang. Hal ini, karena, perusahaan juga akan melakukan efisiensi akibat biaya energi yang meningkat.
Pemerintah tak perlu menaikan harga BBM subsidi, melainkan hanya perlu membatasi konsumsi BBM bersubsidi dengan memperbaiki mekanisme distribusi agar tepat sasaran. Itu salah satu alternatif solusi yang perlu pemerintah pikirkan karena kenaikan harga BBM jelas berdampak serius bagi masyarakat, resiko adanya inflasi akan semakin besar dan akan memperburuk daya jual beli masyarakat.
Beberapa alasan jika BBM dinaikkan akan memunculkan keterpurukan pada rakyat kecil
Pertama : Dengan naiknya harga BBM dapat meningkatkan inflasi secara tajam. Dapat diprediksi, inflasi bisa saja tembus di angka 6,5% sehingga akan berdampak pada daya beli rakyat kecil yang kian terpuruk. Yang dimana selama 3 tahun buruh pabrik menyebabkan daya beli turun 30% karena adanya pandemi covid-19, sehingga dengan adanya kebijakan kenaikan BBM dapat menurunkan daya beli hingga 50% atau lebih.
Kedua : Dimana pada tingkat upah kalangan buruh yang tidak pernah naik signifikan, akan berdampak pada banyaknya PHK akibat kenaikan harga barang. Hal ini, karena, perusahaan juga akan melakukan efisiensi akibat biaya energi yang meningkat.
Ketiga : Saat pemerintah memabandingkan harga BBM dengan negara lain, tentu saja tidak tepat membandingkan harga BBM di suatu negara dengan tidak melihat income per kapita. Misalnya, jika harga Pertalite di Indonesia dinaikkan menjadi Rp 10.000 per liter dan dibandingkan dengan Amerika Serikat (AS) yang sekitar Rp 20.000 per liter atau Singapura yang sekitar Rp 30.000 per liter, maka harga Pertalite di Indonesia terlihat rendah. Karena jika melihat income per kapita, di Singapura sudah di atas 10 kali lipat dibandingkan dengan Indonesia. Jadi perbandingannya tidak apple to apple. Tidak tepat membandingkan harga BBM, tetapi tidak melihat kemampuan daya beli masyarakat.
Keempat : Jika arahnya adalah untuk menuju energi terbarukan, itu hanya akal-akalan. Sebab, BUMN dan perusahaan-perusahaan besar lainnya masih menggunakan energi fosil, batubara, diesel, hingga solar. Alasan ini hanya untuk akal-akalan saja.
Ada kemungkinan terjadi masyarakat miskin di Indonesia akan semakin berrtambah, akibat naiknya harga BBM subsidi, sehingga menyebabkan masyarakat menengah turun menjadi masyarakat miskin dan masyarakat miskin yang sebelumnya terpuruk semakin terpuruk oleh faktor ekonomi yang semakin melambung tinggi.
Kesimpulan Dan Tuntutan
Dampak Invasi Rusia terhadap Ukraina membuat tren harga minyak dunia terus meningkat. Kenaikan harga minyak dunia ini tentu mempengaruhi APBN khususnya pada beban subsidi BBM yang kemungkinan meningkat melebihi asumsi APBN 2022. Banyak gejolak penolakan dari masyarakat karena pemerintah menaikan harga BBM jenis pertamax. Pemerintah menargetkan pertamax sasarannya untuk masyarakat menengah ke atas namun faktanya dengan kenaikan harga pertamax banyak masyarakat menengah ke atas beralih yang semula menggunakan pertamax kemudian menggunakan pertalite. Karena pemerintah tidak mempunyai solusi yang efisien menyalurkan BBM subsidi. Sehingga memunculkan efek domino negatif menyebabkan membeludaknya pengguna BBM subsidi jenis pertalite dan membengkaknya dana APBN untuk anggaran BBM subsidi.
Sehingga Pemerintah perlu merevisi aturan dan memperbaiki mekanisme distribusi agar tepat sasaran untuk menghentikan kebocoran BBM bersubsidi dan tak perlu mengorbankan rakyat dengan menaikan harga BBM subsidi. Karena kenaikan harga BBM jelas berdampak serius bagi masyarakat.
Sesuai UUD Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 27 ayat (2) menyatakan “Bahwa setiap Warga Negara Indonesia berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan” Sehingga pemerintah wajib memberikan subsidi kepada rakyatnya, khususnya terkait kebutuhan hidup rakyat, salah satunya yakni subsidi BBM yang menjadi penompang vital dalam kehidupan masyarakat sehani-hari. Bukan malah membebani rakyat dengan menaikkan harga BBM.
Dari latar belakang persoalan kenaikan harga BBM subsidi, maka Aliansi BEM dan OKP Lapago menyatakan sikap sebagai berikut:
Menolak kenaikan harga BBM subsidi karena akan berefek domino terhadap ekonomi masyarakat terutama kelas menengah kebawah;
Menuntut pemerintah mengevaluasi kinerja Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) dalam penyaluran BBM subsidi dan menindak tegas terhadap penyelewengan penyaluran;
Menuntut pemerintah untuk transparansi jumlah kuota BBM subsidi kepada masyarakat agar tidak mengalami mis-subsidi.
Menuntut pemerintah agar melakukan realokasi anggaran kementerian/lembaga Jain dialih fokuskan pada BBM subsidi;
Menuntut pemerintah segera merumuskan roadmap jangka panjang transisi energi fosil ke energi baru terbarukan yang ramah lingkungan;
Memperpanjang batas waktu pelayanan BBM subsidi di POM Bensin
Mengusut tuntas mafia BBM dan penimbunan BBM subsidi
Pemerintah harus menyediakan trasfortasi umum yang gratis untuk penjual sayur dan pelajar
Meningkatkan keamanan akibat kenaikan harga bbm
Meningkatkan perekonomian masyarakat lokal
Pemerintah harus dapat mengendalikan kenaikan harga sembako yang diakibatkan kenaikan harga BBM
Pemerintah harus dapat mengawal dan menertibkan harga BBM di pengencer
Kawal dan usut tuntas pembunuhan mutilasi yang terjadi di Timika Papua
Melalui kajian ini, Alinsi BEM dan OKP Se-Lapago berharap kepada Pemerintah Pusat hingga sampai ke tingkat Kabupaten, untuk dapat memperhatikan dan mempertimbangkan adanya kenaikan harga BBM yang tiba-tiba, sehingga tidak berdampak kepada penderitaan masyarakat yang ada di seluruh Indonesisa, khususnya di Papua dan wilayah Pegunungan.(NP)